Rabu, 04 Januari 2012

Kaum Eta: Sisi Gelap Masyarakat Jepang


Jepang
merupakan salah satu negara termaju di dunia. Kerja keras dan semangat yang tinggi adalah bagian ciri khasnya. Namun, bukan berarti Jepang pun maju dalam segala hal. Masih ada soal diskriminasi yang mendarah daging di dalam aspek kehidupan masyarakatnya, hingga detik ini.


Meski hal tersebut tidaklah terlalu mencolok, akan tetapi pengkotakan terhadap suatu kaum yang dianggap tak layak tetap terasa kental, terutama dalam hal pernikahan dan pekerjaan, apalagi yang berada diluar wilayah Kansai.

Kaum Eta dalam masyarakat feodal Jepang adalah kaum yang menempati strata paling rendah dalam masyarakat. Bahkan, mereka dianggap tidak layak menempati salah satu kasta yang ada.

Pekerjaan kaum Eta, yaitu yang berkaitan dengan penyembelihan hewan, mengurus pemakaman, algojo, penyamakan kulit, merupakan pekerjaan umum dari kaum Eta.

Karena dalam agama Buddha dan Shinto (di Jepang) pekerjaan mereka termasuk dalam pekerjaan yang menjijikkan / rendahan. Maksudnya adalah pekerjaan, seperti menyembelih hewan, algojo sebaiknya harus dihindari, karena akan berakibat kurang baik bagi diri sendiri.

Eta secara harfiah berarti "orang-orang kotor / menjijikkan" (filthy mass, abundance of filth). Ini dikaitkan dengan pekerjaan mereka. Oleh karenanya, kaum Eta tidak boleh hidup bersama dengan "orang normal", dan harus tinggal di daerah terbuang.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEirUSPzdm9mYXte5zO35fZBD3oksZNXeglFweq1nB0mNGTUfl2MhBVaH7zJ38crQjtmRAPj8HTHYVdWKfNkiFtz16YkdecjQqfhFXn2YAQHN_n_KbovarL4NHL1BC2BE2ht02jHzv_Dkfcq/s400/eta+and+others.jpg

Hal-hal diskriminasi terhadap kaum Eta di Jepang, meliputi :
* Tidak boleh hidup berdampingan dengan kasta lain, tinggal di daerah buangan.

* Pekerjaan hanya urusan kematian, algojo, hewan sembelihan, penyamakan kulit. Positifnya, profesi-profesi ini menjadi monopoli kaum Eta, hingga banyak yang hidup berkecukupan dari pekerjaan tersebut.

* Tidak berhak memiliki sawah. Positifnya, karena pajak berdasar kepemilikan lahan pertanian (beras), maka kaum Eta bebas pajak.

* Tidak berhak beribadah di kuil yang umum. Hanya di kuil yang disediakan khusus untuk mereka.

* Penamaan dalam agama Buddha (Jepang), acapkali dengan kata binatang, rendah hati, hina, hamba, dan ekspresi menghina lainnya dalam huruf kanji.

* Bila berhadapan dengan golongan berkasta, harus sopan dan merendahkan diri. Pada tahun 1869 dikatakan nilai orang Eta adalah 1/7 orang umum di Jepang.

* Tidak boleh menikahi orang berkasta.

Selain kaum Eta, ada beberapa kaum buangan lainnya di Jepang, yaitu :

1. Kaum Hinin (bukan manusia)

Definisi hinin, serta status sosial mereka dan pekerjaan khas bervariasi dari waktu ke waktu, tetapi biasanya termasuk mantan narapidana dan gelandangan yang bekerja sebagai penjaga kota, pembersih jalan atau penghibur.

2. Kaum Kawaramono (kering, orang sungai)

Beberapa orang buangan juga disebut kawaramono (kering, orang sungai) karena mereka tinggal di sepanjang tepi sungai yang tidak bisa diubah menjadi sawah.

3. Kaum Burakumin (orang-orang pemukiman kecil)

Burakumin adalah sebutan untuk orang Jepang yang merupakan keturunan kaum terbuang, terutama Eta, Hinin, dan Kawaramono. Secara harfiah Burakumin berarti "Orang-orang pemukiman kecil", dimana hal ini merujuk pada pemukiman kaum Eta yang terpisah dari kasta lain dalam masyarakat feodal.

Istilah Burakumin ini secara de jure (legal) ada, hingga dihapuskannya sistem kasta di tahun 1871 seiring semangat persamaan di Era Restorasi Meiji (mulai 1869). Namun, secara de facto hingga sekarang, diskriminasi terhadap Burakumin masih ada.

http://mollysmixtape.files.wordpress.com/2009/04/319571765_2bbc7fe718.jpg



0 komentar:

Posting Komentar