Candi
Borobudur merupakan candi terbesar kedua setelah Candi Ankor Wat di
Kamboja. Borobudur mirip bangunan piramida Cheops di Gizeh Mesir. Dari
kejauhan, Borobudur akan tampak seperti susunan bangunan berundak atau
semacam piramida dan sebuah stupa. Namun berbeda dengan piramida raksasa
Mesir dan Piramida Teotihuacan Meksiko, piramida Borobudur berupa
kepunden berundak yang tidak ditemukan di daerah dan negara manapun,
termasuk di India. Inilah salah satu kelebihan Candi Borobudur yang
merupakan kekhasan arsitektur Buddhis di Indonesia.
Ada beberapa versi seputar waktu pembangunan candi Borobudur. Sebagian berpendapat, masa
pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu sekitar 1 abad, antara
750-847 M dalam 3 generasi kerajaan Buddhis Mataram Kuno Wangsa
Syailendra. Pembangunan candi ini dimulai pada
masa Maha Raja Dananjaya yang bergelar Sri Sanggramadananjaya,
dilanjutkan oleh putranya, Samarattungga, dan diselesaikan oleh cucu
perempuannya, Dyah Ayu Pramodhawardhani.
Sedangkan
menurut Prof. JG. De Casparis, berdasarkan pada Prasasti Karang Tengah
menyebutkan tahun pendiriannya, yaitu Tahun Sangkala: rasa sagara kstidhara, atau tahun Caka 746 (824), atau pada masa Wangsa Syailendra yang mengagungkan Dewa Indra. Casparis memperkirakan candi Borobudur dibangun oleh raja Samarattungga pada tahun 824 M. Berdasarkan prasasti Kulrak (784M) pembangunan candi itu selesai pada tahun 847 M, yaitu oleh putrinya, Ratu Dyah Pramudawardhani.
Dalam
pelaksanaannya, pembangunan candi dibantu oleh seorang guru dari
Ghandadwipa (Bengalore) bernama Kumaragacya, dan seorang pangeran dari
Kashmir bernama Visvawarman sebagai penasihat yang ahli dalam ajaran
Buddhis Tantra Vajrayana. Arsitektur yang menciptakan candi, berdasarkan
tuturan masyarakat bernama Gunadharma.
Sedangkan
mengenai landasan falsafah dan agamanya ditemukan oleh Stutterheim dan
NJ. Krom, yakni tentang ajaran Buddha Dharma dengan aliran
Mahayana-Yogacara dan ada kecenderungan pula bercampur dengan aliran
Tantrayana-Vajrayana. Menurut hasil penyelidikan seorang
antropolog-etnolog Austria, Robert von Heine Geldern, nenek moyang
bangsa Indonesia sudah mengenal tata budaya pada zaman Neolithic dan
Megalithic yang berasal dari Vietnam Selatan dan Kamboja.
Sejarah
asal nama Borobudur sendiri, beberapa ahli purbakala mengungkapkan
versi berbeda. Menurut Prof. Dr. Poerbotjoroko, Borobudur berasal kata Bhoro dan Budur. “Bhoro” berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti kompleks “candi, bihara atau asrama,” sedangkan kata “budur” merujuk pada bahasa Bali, “beduhur”
yang berarti “di atas.” Pendapat ini dikuatkan oleh Prof. Dr. WF.
Stutterheim yang berpendapat bahwa Borobudur berarti “bihara di atas
sebuah bukit.” Sedangkan menurut Casparis, berdasarkan prasasti Karang Tengah, Borobudur berasal dari BhūmiSambhāraBhudhāra yang dalam bahasa sansekerta berarti “Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa.”
Candi Borobudur
sendiri memiliki 10 tingkat yang menggambarkan filsafat mazhab Mahayana.
6 tingkat berbentuk bujur sangkar, 3 tingkat berbentuk bundar melingkar
dan sebuah stupa utama di puncaknya. Bagaikan sebuah kitab, Borobudur
menggambarkan 10 tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha.
Tingkatan pada bangunan candi Borobudur melambangkan 3 tingkatan filosofi ajaran Budha yakni :
1. Kamadhatu
(ranah hawa nafsu), yaitu dunia yang masih dikuasai oleh hawa nafsu,
Bagian ini diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi. Disini
terdapat 160 relief cerita Karmawibhangga namun saat ini tersembunyi
karena tertutup struktur.
2. Rupadhatu
(ranah berwujud), yaitu dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari
nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Bagian ini terdiri
dari empat lorong dengan 1300 gambar relief dengan panjang seluruhnya
2,5 km.
3. Arupadhatu
(ranah tak berwujud), yaitu dimana manusia sudah terbebas dari segala
keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana.
Denah lantai berbentuk lingkaran. Patung-patung Buddha ditempatkan di
dalam stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam kurungan.
Tingkatan
tertinggi ini dilambangkan dengan stupa yang terbesar dan tertinggi,
stupa polos tanpa lubang-lubang. Di dalam stupa terbesar ini pernah
ditemukan arca Buddha belum selesai (unfinished Buddha),
yang semula disalahsangkakan sebagai patung Adibuddha, padahal melalui
penelitian lebih lanjut tidak pernah ada patung pada stupa utama, patung
yang tidak selesai itu merupakan kesalahan pemahatnya pada zaman
dahulu. Menurut kepercayaan patung yang salah dalam pembuatannya tidak
boleh dirusak.
Borobudur
tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain. Yang ada
ialah lorong-lorong panjang sebagai jalan sempit dibatasi dinding yang
mengelilingi candi tingkat demi tingkat. Di lorong-lorong inilah yang setiap bulan purnama penuh bulan Mei atau Juni menjadi pusat peringatan Waisak bagi umat Budha.
Relief-relief yang terpahat di setiap tingkatan ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa Kuna yang berasal dari bahasa Sansekerta daksina
yang artinya ialah timur. Pembacaan cerita-cerita relief ini senantiasa
dimulai, dan berakhir pada pintu gerbang sisi timur di setiap
tingkatnya, bergerak searah jarum jam, dimulai dari sebelah kiri dan
berakhir di sebelah kanan pintu gerbang yang terletak di bagian timur.
Sedangkan relief-relief candi yang beejumlah total 1.460 pigura, secara berurutan menceritakan makna filosofi sebagai berikut:
1. Karmawibhangga,
sesuai dengan makna simbolis pada kaki candi, menggambarkan hukum
karma. Pada setiap pigura menggambarkan suatu cerita terpisah yang
mempunyai korelasi sebab akibat. Secara keseluruhan relief sejumlah 160
pigura ini menggambarkan kehidupan manusia dalam lingkaran
lahir-hidup-mati (samsara) yang tidak pernah berakhir, dan oleh agama
Buddha rantai tersebutlah yang akan diakhiri untuk menuju kesempurnaan.
2. Lalitawista,
menggambarkan riwayat Sang Buddha dalam deretan relief-relief (tetapi
bukan merupakan riwayat yang lengkap) yang dimulai dari turunnya Sang
Buddha dari sorga Tusita, dan berakhir dengan wejangan pertama di Taman
Rusa dekat kota Banaras. Relief tersebut menggambarkan lahirnya Sang
Buddha di arcapada ini sebagai Pangeran Siddhartha, putra Raja
Suddhodana dan Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu. Relief berjumlah
120 pigura, yang berakhir dengan wejangan pertama, yang secara simbolis
dinyatakan sebagai Pemutaran Roda Dharma, ajaran Sang Buddha di sebut
dharma yang berarti “hukum” dengan lambang roda.
3. Jataka dan Awadana.
Jataka menceritakan tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai
Pangeran Siddharta. Isinya merupakan pokok penonjolan perbuatan baik,
yang membedakan Sang Bodhisattwa dari makhluk lain, sebagai tahapan persiapan menuju ketingkat ke-Budha-an. Sedangkan Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan Jataka akan tetapi bukan Sang Bodhisattwa,
melainkan orang lain dan ceritanya dihimpun dalam kitab Diwyawadana
(perbuatan mulia kedewaan), dan kitab Awadanasataka (100 cerita Awadana).
Pada relief candi Borobudur, jataka dan awadana
sejumlah 720 pigura yang tersebar di tingkat 1 dan 2, terdapat dalam
deretan yang sama tanpa dibedakan. Himpunan yang paling terkenal dari
kehidupan Sang Bodhisattwa adalah Jatakamala (untaian cerita Jataka), karya penyair Aryasura (abad 4 M).
4. Gandawyuha,
deretan relief di dinding lorong ke-2, adalah cerita tentang
pengembaraan Sudhana dalam mencari Pengetahuan Tertinggi tentang
Kebenaran Sejati. Penggambarannya dalam 460 pigura didasarkan pada kitab
suci Buddha Mahayana yang berjudul Gandawyuha, dan untuk bagian penutupnya berdasarkan cerita kitab lainnya yaitu Bhadracari.
Dalam
sejarahnya, candi Borobudur sendiri baru diketemukan pada 1814 – Sir
Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Britania Raya di Jawa
memerintahkan H.C. Cornelius untuk menyelidiki lokasi penemuan, berupa
bukit yang dipenuhi semak belukar. Borobudur sudah mengalami setidaknya 4 kali pemugaran dengan total waktu lebih dari 29 tahun. Pemugaran pertama dilakukan pada masa pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1907-1911 oleh Theodoor van Erp, seorang
ahli teknik bangunan Genie Militer. Pemugaran ke-2 berjalan selama 14
tahun, dimulai dari tahun 1926 dan berhenti pada tahun 1940 akibat krisis malaise dan Perang Dunia II.
Pemugaran ke-3 memakan waktu 11 tahun, 1973-1984, yang merupakan kerjasama pemerintah Indonesia dengan UNESCO dan dikerjakan oleh badan khusus International Consultative Committee (ICC) di bawah ketua Prof.Ir.Roosseno,
dengan total biaya 7.750 juta US dollar. UNESCO menyediakan 5 juta US
dollar dan sisanya ditanggung pemerintah Indonesia. Pada tahun 1985
pemugaran harus dilakukan kembali setelah terjadi serangan bom teroris
yang mengakibatkan kerusakan beberapa stupa pada Candi Borobudur.
Pada tahun 1991, Borobudur ditetapkan sebagai Warisan Dunia UNESCO. Dan di tahun 2012 ini, Guinness
World Records di London, Inggris, mencatatkan secara resmi Candi
Borobudur sebagai situs arkeologis Candi Buddha terbesar di dunia. Pencatatan
itu dilakukan pada 27 Juni 2012 dan telah berhasil mendapatkan nomor
klaim yang menyatakan Candi Borobudur yang menjadi UNESCO world heritage
list nomor 592 (1991) sebagai situs arkeologis candi Buddha terbesar di
dunia.
0 komentar:
Posting Komentar