Kamis, 11 Desember 2014

Kisah Penduduk Ailah, Kaum Bani Israa’iil yang Diubah Menjadi Kera-kera Karena Melanggar Hari Sabtu

Many_monkeys_by_EastMonkeyKisah ini Allah Ta’ala firmankan dalam kitabNya yang mulia. Allah Jalla Jalaaluh berfirman :
وَاسْأَلْهُمْ عَنِ الْقَرْيَةِ الَّتِي كَانَتْ حَاضِرَةَ الْبَحْرِ إِذْ يَعْدُونَ فِي السَّبْتِ إِذْ تَأْتِيهِمْ حِيتَانُهُمْ يَوْمَ سَبْتِهِمْ شُرَّعًا وَيَوْمَ لا يَسْبِتُونَ لا تَأْتِيهِمْ كَذَلِكَ نَبْلُوهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ. وَإِذْ قَالَتْ أُمَّةٌ مِنْهُمْ لِمَ تَعِظُونَ قَوْمًا اللَّهُ مُهْلِكُهُمْ أَوْ مُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا شَدِيدًا قَالُوا مَعْذِرَةً إِلَى رَبِّكُمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ. فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ أَنْجَيْنَا الَّذِينَ يَنْهَوْنَ عَنِ السُّوءِ وَأَخَذْنَا الَّذِينَ ظَلَمُوا بِعَذَابٍ بَئِيسٍ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ. فَلَمَّا عَتَوْا عَنْ مَا نُهُوا عَنْهُ قُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ
“Dan tanyakanlah kepada bani Israa’iil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami menguji mereka disebabkan mereka berlaku fasiq. Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata, “Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengadzab mereka dengan adzab yang amat keras?” Mereka menjawab, “Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertaqwa.” Maka tatkala mereka melupakan apa yang telah diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang lalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasiq. Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang mereka dilarang mengerjakannya, Kami katakan kepadanya, “Jadilah kamu kera yang hina!” [QS Al-A’raaf : 163-166]
FirmanNya :
وَلَقَدْ عَلِمْتُمُ الَّذِينَ اعْتَدَوْا مِنْكُمْ فِي السَّبْتِ فَقُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ. فَجَعَلْنَاهَا نَكَالا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهَا وَمَا خَلْفَهَا وَمَوْعِظَةً لِلْمُتَّقِينَ
“Dan sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar di antaramu pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka, “Jadilah kamu kera yang hina!” Maka Kami jadikan yang demikian itu sebagai peringatan bagi orang-orang di masa itu, dan bagi mereka yang datang kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa.” [QS Al-Baqarah : 65-66]
Serta firmanNya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ آمِنُوا بِمَا نَزَّلْنَا مُصَدِّقًا لِمَا مَعَكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَطْمِسَ وُجُوهًا فَنَرُدَّهَا عَلَى أَدْبَارِهَا أَوْ نَلْعَنَهُمْ كَمَا لَعَنَّا أَصْحَابَ السَّبْتِ وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولا
“Hai orang-orang yang telah diberi Al-Kitab, berimanlah kamu kepada apa yang telah Kami turunkan (Al Qur’an) yang membenarkan Kitab yang ada pada kamu sebelum Kami mengubah muka (mu), lalu Kami putarkan ke belakang atau Kami kutuk mereka sebagaimana Kami telah mengutuk orang-orang (yang berbuat maksiat) pada hari Sabtu. Dan ketetapan Allah pasti berlaku.” [QS An-Nisaa’ : 47]
Al-Imam Ibnu Jariir Ath-Thabariy dalam Tafsiir-nya[1], menyebutkan beberapa perbedaan pendapat mengenai tempat yang dimaksud dalam ayat-ayat diatas. ‘Abdullaah bin Katsiir, Ismaa’iil As-Suddiy, ‘Ikrimah, Qataadah, Mujaahid, dan Ibnu ‘Abbaas berkata bahwa yang dimaksud adalah “Ailah”, Ibnu ‘Abbaas menambahkan “sebuah tempat yang berada diantara Madyan dan Ath-Thuur”. ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam berkata bahwa yang dimaksud adalah “Maqnaa, berada diantara Madyan dan ‘Ainuunaa”. Ibnu ‘Abbaas dalam pendapatnya yang lain berkata bahwa yang dimaksud adalah “Madyan, sebuah desa yang berada diantara Ailah dan Ath-Thuur”.
Dari berbagai perbedaan pendapat tersebut, yang benar bahwa tempat yang dimaksud adalah sebuah desa atau negeri yang terletak di dekat laut, boleh jadi ia adalah Ailah, boleh jadi ia adalah Madyan, boleh jadi ia adalah Maqnaa, dikarenakan tempat-tempat tersebut berada di dekat laut dan tidak ada khabar dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk memutuskan perkara yang demikian, demikian kata Ibnu Jariir.
Al-Haafizh Ibnu Katsiir lebih menguatkan pendapat bahwasanya yang dimaksud adalah Ailah. Wallaahu a’lam.
Mereka, para penduduk Ailah tersebut, adalah orang-orang yang kokoh memegang ajaran Taurat dalam hal pengharaman hari Sabtu pada zaman tersebut. Pada hari Sabtu, ikan-ikan berenang dengan tenang di permukaan air dekat dengan tempat mereka, pada hari itu Allah mengharamkan perburuan ikan kepada mereka dan diharamkan pula semua aktivitas bekerja, perdagangan-perdagangan, dan usaha-usaha yang lain sebagaimana diharamkan berburu ikan di hari Sabtu.
Firman Allah Ta’ala :
وَيَوْمَ لا يَسْبِتُونَ لا تَأْتِيهِمْ
“Dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka.” Hal ini dikarenakan mereka biasa berburu ikan pada hari-hari selain hari Sabtu.
Firman Allah Ta’ala :
كَذَلِكَ نَبْلُوهُمْ
“Demikianlah Kami menguji mereka.” Yaitu Kami menguji mereka dengan banyaknya ikan-ikan pada hari Sabtu.
Firman Allah Ta’ala :
بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ
“Disebabkan mereka berlaku fasiq.” Yaitu disebabkan kefasiqan mereka yang telah lampau. Ketika mereka mengetahui hal tersebut, mereka membuat semacam tipu muslihat agar mereka tetap dapat berburu ikan pada hari Sabtu yaitu dengan cara meletakkan jaring-jaring dan perangkap-perangkap ikan, lalu membuat parit-parit yang dapat dialiri air sehingga air itu membawa ikan-ikan tersebut masuk ke parit-parit yang sudah mereka persiapkan yang apabila ikan-ikan tersebut telah masuk, maka mereka tidak akan bisa keluar dari situ. Mereka melakukan ini pada hari Jum’at. Jika telah tiba hari Sabtu, banyaklah ikan-ikan yang tertangkap pada jaring-jaring, tiada satu ikan pun yang selamat di hari Sabtu itu. Orang-orang Yahudi mengambil ikan-ikan itu setelah hari Sabtu. Mereka telah melanggar perintah Allah, melanggar hal-hal yang diharamkan olehNya dengan melakukan tipu muslihat tersebut, maka Allah murka dan mengutuk mereka.
Ketika segolongan dari orang-orang durjana tersebut melakukan pelanggaran larangan dan berburu ikan di hari Sabtu, maka sebagian lainnya yang tidak melakukan pelanggaran itu terpecah menjadi dua golongan, golongan yang satu yang mana mereka mengingkari perbuatan tersebut dan tipu muslihat yang dilakukan, sedangkan golongan yang lain adalah mereka yang bersikap diam, tidak mengerjakan dan tidak pula dilarang tetapi mereka berkata kepada golongan yang melakukan pengingkaran terhadap perbuatan haram tersebut, seperti yang disebutkan dalam firmanNya :
لِمَ تَعِظُونَ قَوْمًا اللَّهُ مُهْلِكُهُمْ أَوْ مُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا شَدِيدًا
“Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengadzab mereka dengan adzab yang amat keras?” Maksudnya adalah, apa manfaatnya kalian melarang dan mengingkari mereka? Bukankah kalian telah mengetahui bahwa mereka akan binasa dan berhak mendapat hukuman Allah?
Maka golongan yang mengingkari perbuatan itu menjawabnya :
مَعْذِرَةً إِلَى رَبِّكُمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
“Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertaqwa.” Maksudnya, kami melakukan ini sebagai bentuk amar ma’ruuf nahi munkar kepada saudara-saudara kami, kami melakukan ini karena takut terhadap Rabb dan jika nanti kami ditanya oleh Rabb kami, maka kami sudah menunaikan kewajiban kami, yaitu memberitahukan kepada mereka bahwa mereka telah melakukan hal yang diharamkan Rabb kami. Kami berharap, dengan adanya pengingkaran ini mereka meninggalkan perbuatan tersebut dan Allah menyelamatkan mereka dari siksaNya dan menerima taubat mereka.
Firman Allah Ta’ala :
فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ أَنْجَيْنَا الَّذِينَ يَنْهَوْنَ عَنِ السُّوءِ
“Maka tatkala mereka melupakan apa yang telah diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat.” Maksudnya, orang-orang yang melanggar tersebut tidak menoleh sedikitpun kepada peringatan dari golongan yang mengingkari mereka, maka Allah Ta’ala selamatkan golongan yang melakukan amar ma’ruuf nahi munkar dari makar orang-orang jahat.
Dan firmanNya :
وَأَخَذْنَا الَّذِينَ ظَلَمُوا بِعَذَابٍ بَئِيسٍ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ. فَلَمَّا عَتَوْا عَنْ مَا نُهُوا عَنْهُ قُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ
“Dan Kami timpakan kepada orang-orang yang lalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasiq. Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang mereka dilarang mengerjakannya, Kami katakan kepadanya, “Jadilah kamu kera yang hina!”
Allah Ta’ala telah mengkhabarkan bahwa Dia telah membinasakan orang-orang yang zhalim dengan adzab yang keras dan menyelamatkan orang-orang beriman yang mengingkari perbuatan mereka. Dalam hal ini, Allah tidak menyebutkan nasib orang-orang yang bersikap tawaqquf terhadap kemungkaran orang-orang yang zhalim. Maka ada dua pendapat para ulama tafsir terkait hal ini. Sebagian mereka berpendapat bahwa golongan yang diam termasuk orang-orang yang diselamatkan Allah sementara yang lain berpendapat bahwa mereka termasuk orang-orang yang ikut dibinasakan Allah.
Pendapat yang shahih menurut para ulama muhaqqiq adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbaas, pemimpin para ahli tafsir Al-Qur’an, yaitu mereka (golongan yang tawaqquf tersebut) tidak digolongkan kepada orang-orang yang selamat sebab meskipun hati mereka tidak ridha terhadap perbuatan haram tersebut, hanya saja sepantasnya bagi golongan tersebut untuk melaksanakan amalan yang dianjurkan yaitu pengingkaran secara lisan, ini merupakan tingkatan nahi munkar yang paling tengah dari tiga tingkatan yang mana tingkatan yang paling tinggi adalah mengingkari dengan tangan, lalu mengingkari dengan lisan, dan yang terakhir mengingkari dengan hati. Ketika mereka bersikap tawaqquf, tidak berusaha untuk memberi peringatan, maka mereka tidak digolongkan kepada golongan orang-orang yang diselamatkan Allah Ta’ala.
Diriwayatkan Al-Imam Ibnu Jariir[2] dengan sanad hingga Al-Hasan bin ‘Athiyyah, dari Ayahnya (yaitu ‘Athiyyah Al-‘Aufiy), dari Ibnu ‘Abbaas, mengenai firman Allah, “Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang mereka dilarang mengerjakannya, Kami katakan kepadanya, “Jadilah kamu kera yang hina!”, Ibnu ‘Abbaas berkata :
فجعل الله منهم القردة والخنازير. فزعم أن شباب القوم صاروا قردة، وأن المشيخة صاروا خنازير
“Allah menjadikan mereka kera-kera dan babi-babi, maka ada yang menyatakan bahwa para pemuda kaum tersebut berubah menjadi kera-kera dan para orang tuanya berubah menjadi babi-babi.”
Al-Imam Ibnu Jariir[3] meriwayatkan dengan sanad hingga Sa’iid bin Abi ‘Aruubah, dari Qataadah, mengenai firman Allah, “Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang mereka dilarang mengerjakannya,” Qataadah mengatakan :
لما مرد القوم على المعصية. قلنا لهم كونوا قردة خاسئين، فصاروا قردة لها أذناب تعاوى بعد ما كانوا رجالا ونساء
“Ketika kaum tersebut melampaui batas atas perbuatan maksiat mereka, (Allah berfirman) Kami katakan kepadanya, “Jadilah kamu kera yang hina!” Maka mereka berubah menjadi kera-kera yang memiliki ekor yang saling berkerumun setelah dahulunya mereka berwujud para lelaki dan wanita.”
Al-Imam Ibnu Abi Haatim[4] meriwayatkan dengan sanad hingga Ibnu Abi Najiih, dari Mujaahid, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata :
إِذَا كَانَ الَّذِينَ اعْتَدَوْا فِي السَّبْتِ فَجُعِلُوا قِرَدَةً فَوَاقًا، ثُمَّ هَلَكُوا مَا كَانَ لِلْمَسْخِ نَسْلٌ
“Apabila orang-orang Yahudi yang melanggar di hari Sabtu, maka dijadikanlah mereka kera-kera yang nyata, kemudian mereka binasa, tidaklah mereka dapat berketurunan dengan perubahan wujud mereka itu.”
Dan diriwayatkan[5] dengan sanad hingga Ibnu Abi Najiih, dari Mujaahid :
فَقُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ، قَالَ: مُسِخَتْ قُلُوبُهُمْ، وَلَمْ يُمْسَخُوا قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ، وَإِنَّمَا هُوَ مَثَلٌ ضَرَبَهُ اللَّهُ لَهُمْ، مِثْلَ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا
Lalu Kami berfirman kepada mereka, “Jadilah kamu kera yang hina!” Mujaahid berkata, “Diubahlah hati-hati mereka dan bukanlah (jasad) mereka yang diubah menjadi kera-kera dan babi-babi. Sesungguhnya hal tersebut adalah perumpamaan Allah kepada mereka, bagaikan perumpamaan keledai yang membawa (beban berat) di sejumlah perjalanan.”
Pendapat Mujaahid ini adalah pendapat yang asing yang dinisbatkan kepada Al-Imam Mujaahid, menyelesihi teks Al-Qur’an dan pendapat para ulama dari kalangan salaf maupun khalaf.
Selesai. Semoga bermanfaat sebagai ibrah kita dalam hal amar ma’ruuf nahi munkar.
Wallaahu a’lam.
Diselesaikan di Ciputat, 27 Ramadhan 1435 H
Tommi Marsetio
Sumber :
“Al-Bidaayah wa An-Nihaayah”, karya Al-Haafizh Abul Fidaa’ Ibnu Katsiir, tahqiiq : Dr. ‘Abdullaah bin ‘Abdil Muhsin At-Turkiy, penerbit Daar Hijr, cetakan pertama.
Footnotes :
[1] Jaami’ul Bayaan ‘an Ta’wiili aay Al-Qur’an 10/507-509, tahqiiq : Dr. ‘Abdullaah bin ‘Abdil Muhsin At-Turkiy, Daar Hijr.
[2] Jaami’ul Bayaan 10/529, dengan sanad yang lemah. Al-Hasan bin ‘Athiyyah, Al-Haafizh dalam At-Taqriib no. 1256 melemahkannya. Sedangkan ‘Athiyyah Al-‘Aufiy, dikatakan oleh Al-Haafizh dalam At-Taqriib no. 4616, “shaduuq, banyak kelirunya, pengikut syi’ah dan mudallis.”
[3] Jaami’ul Bayaan 10/529, dengan sanad yang shahih. Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Mu’aadz, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Yaziid, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Sa’iid, dari Qataadah, perkataannya.
Yaziid, ia adalah Yaziid bin Zurai’, kata Al-Haafizh ia tsiqah tsabt (At-Taqriib no. 7713). Sa’iid bin Abi ‘Aruubah, kata Al-Haafizh ia tsiqah haafizh, memiliki karya tulis namun banyak melakukan tadlis dan mengalami ikhtilath, orang paling tsabt pada Qataadah (At-Taqriib no. 2365).
Namun Yaziid bin Zurai’ mendengar dari Sa’iid sebelum ikhtilath-nya. Ahmad bin Hanbal berkata :
سماع يزيد بن زريع من سعيد قديم
“Penyimakan Yaziid bin Zurai’ dari Sa’iid adalah penyimakan yang terdahulu (sebelum ikhtilath).”
Dan Abu Ahmad bin ‘Adiy Al-Jurjaaniy berkata :
وأثبتهم فيه : يزيد بن زريع، وخالد بن الحارث، ويحيى بن سعيد القطان
“Dan mereka yang paling tsabt pada Sa’iid adalah : Yaziid bin Zurai’, Khaalid bin Al-Haarits, dan Yahyaa bin Sa’iid Al-Qaththaan.”
Lihat Al-Mukhtalithiin hal. 43 berikut ta’liiq dari muhaqqiq kitab.
[4] Tafsiir Ibni Abi Haatim no. 670, dengan sanad yang lemah. Ibnu Abi Najiih tidak mendengar tafsir dari Mujaahid. Yahyaa Al-Qaththaan berkata :
لم يسمع بن أبي نجيح من مجاهد التفسير كله يدور على القاسم بن أبي بزة
“Ibnu Abi Najiih tidak mendengar tafsir dari Mujaahid, semua riwayatnya bersumber pada Al-Qaasim bin Abi Bazah.” (Taariikhul Kabiir 5/233)
[5] Tafsiir Ibni Abi Haatim no. 672, dengan sanad yang lemah. Ibnu Abi Najiih tidak mendengar tafsir dari Mujaahid sebagaimana telah lalu penjelasannya.
* * * * *
Sumber muhandisun.wordpress.com

0 komentar:

Posting Komentar