Sempat hilang selama hampir 500 tahun dari peradaban
manusia, kemunculan kembali Kota Petra di Yordania Selatan, telah
menyedot perhatian dunia. Masih ada misteri yang belum terungkap dari
kota yang hilang bersamaan dengan berakhirnya Perang Salib pada abad
ke-12 Masehi ini.
"Baru lima belas persen dari Kota Petra yang sudah berhasil kita temukan, di bawah permukaan masih terdapat 85 persen sisanya, tak tersentuh," ungkap Zeidoun Al-Muheisen, seorang arkeolog dari Jordan's Yamouk University seperti dilansir National Geographic.
Para ahli arkeologi dan kepurbakalaan berpendapat bahwa mendalami penggalian misteri kota yang terletak di dataran rendah dan diapit oleh gunung-gunung yang membentuk sayap ini, akan membawa kepada jawaban atas sejarah dan peradaban Suku Nabatea, yang sejauh ini diyakini berperan penting memegang kontrol luas di area Yordania sampai ke Jazirah Arab. Suku Nabatean berasal dari Arab bagian Barat Laut. Mereka tinggal di wilayah Yordania tetapi berpindah-pindah sampai membentuk kerajaan tahun 312 SM.
Petra yang dalam bahasa Yunani berarti batu dan dalam bahasa Arab disebut al-Bitra. didirikan enam tahun Sebelum Masehi oleh Raja Aretas IV. Kota unik yang didirikan dengan menggali dan mengukir cadas setinggi 40 meter ini, merupakan Ibu Kota Kerajaan Nabatean. Kota yang aman dari bencana alam seperti badai pasir ini, sekaligus menjadi pusat perdagangan yang sangat ramai karena terletak di jalur distribusi barang antara Eropa dan Timur Tengah.
Kota Pertra mempunyai sistem pengairan yang luar biasa rumit. Saat itu, Suku Nabatean yang menempati kota ini, sudah mempunyai peradaban teknologi hidrolik untuk mengangkat air. Untuk memenuhi kebutuhan air penduduknya, di kota itu terdapat terowongan dan bilik air untuk menyalurkan air bersih ke kota. Selain itu, Suku Nabatean sangat mahir dalam membuat tangki air bawah tanah untuk mengumpulkan air bersih, yang bisa digunakan saat mereka bepergian jauh. Sehingga, di mana pun mereka berada, mereka bisa membuat galian untuk saluran air guna memenuhi kebutuhan mereka akan air bersih.
Di akhir abad ke-4 Sebelum Masehi, berkembangnya dunia perdagangan membuat suku Nabatean turut berkecimpung dalam perdagangan dunia. Rute perdagangan dunia mulai tumbuh subur di bagian selatan Yordania dan selatan Laut Mati. Mereka lalu memanfaatkan posisi tempat tinggal mereka yang strategis itu sebagai salah satu rute perdagangan dunia.
Suku Nabatean akhirnya bisa menjadi para saudagar yang sukses, dengan berdagang dupa, rempah-rempah, dan gading yang antara lain berasal dari Arab bagian selatan dan India timur. Letaknya yang strategis untuk mengembangkan usaha dan hidup, serta aman untuk melindungi diri dari orang asing, membuat suku Nabatean memutuskan di kota batu itu.
Untuk mempertahankan kemakmuran yang telah diraih, mereka memungut bea cukai dan pajak kepada para pedagang setempat atau dari luar yang masuk ke sana. Suku Nabatean akhirnya berhasil membuat kota internasional yang unik dan tak biasa. Puluhan ribu orang tinggal di kota ini untuk berdagang maupun sekadar transit.
Awal keruntuhan
Pada tahun 106 Masehi, Romawi mencaplok Petra, sehingga peran jalur perdagangannya melemah. Tak hanya itu, pendudukan oleh Romawi merupakan awal keruntuhan Petra, karena sejak itu serangkaian gempa bumi melanda kota ini. Selain itu, munculnya jalur-jalur perdagangan baru memaksa Petra mencapai titik nadir di masa Kekaisaran Byzantine pada sekitar pertengahan abad 7 M. Ketika sistem hidrolik dan beberapa bangunan utama yang menunjang kehidupan masyarakat di kota itu hancur menjadi puing, Petra ditinggalkan sampai akhirnya menghilang dari peta bumi dan tinggal menyisakan legenda selama berabad-abad.
Reruntuhan kota yang terkubur di bawah tanah ditemukan pada tahun 1812 oleh seorang petualang dari Swiss bernama Johann Ludwig Burchardt. Sang petualang sengaja menyamar menjadi orang Badui, karena suku inilah yang mengetahui keberadaan Kota Petra. Setelah penemuan itu, Kota Petra menjadi perhatian dan penelitian para arkeolog. Tahun 1985, UNESCO mendeklarasikan Taman Arkeologi Petra sebagai situs World Heritage. Kemudian pada Tahun 2007, situs bersejarah yang jaraknya sekitar 3-5 jam perjalanan dari Kota Amman, Yordania ini, dinobatkan sebagai salah satu keajaiban dunia.
Tak mengherankan jika Petra menjadi salah satu keajaiban dunia karena kota ini memang sangat spektakuler. Di Petra terdapat amat banyak bangunan religius semacam kuil, biara, makam, atau tempat pengorbanan. Semua bangunan tersusun dari batu pasir nan kokoh, dengan perpaduan arsitektur Timur Tengah dan Arab. Suku Nabatean memang hebat dalam hal arsitektur tata kota. Kemampuan mereka juga menghasilkan inovasi-inovasi dalam sistem irigasi, transportasi, dan penyimpanan. Sayangnya, sampai sekarang informasi tentang suku ini masih sangat sedikit, seperti halnya Kota Petra.
Sejarah Islam
Kota Petra mempunyai kaitan dengan sejarah Islam, karena kota ini tercantum dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Memang dalam hadis tidak disebutkan langsung Kota Petra, namun yang disebuat adalah bangsa Arab kuno bernama Anbath Asy-Syam. Menurut kitab Al-Qamus al-Islami, Kota Petra merupakan peninggalan Anbath Asy-Syam, yaitu bangsa Arab kuno yang tinggal di antara Semenanjung Sinai dan Harun.
Kota Petra dikelilingi gunung-gunung, salah satunya Gunung Harun atau Jabal Harun atau Gunung Hor atau El-Barra yang memiliki ketinggian sekitar 1.350 meter di atas permukaan laut. Banyak yang meyakini, di puncak Jabal Harun itulah Nabi Harun meninggal dan dimakamkan oleh Nabi Musa. Konon, Rasulullah SAW pernah mengunjungi gunung itu bersama pamannya Abu Thalib, saat berdagang ke Syam (Suriah).
Tradisi Arab meyakini, Petra merupakan tempat Nabi Musa (Musa) memukul batu dengan tongkatnya hingga keluarlah air dari batu tersebut. Di kota itu juga terdapat nama tempat Wadi Musa untuk menyebut lembah sempit di wilayah itu. Pada abad ke-14 Masehi, sebuah masjid dibangun di tempat itu dengan kubah berwarna putih yang terlihat dari berbagai area di sekitar Petra. Konon, Nabi Harun tiba di wilayah itu ketika mendampingi Nabi Musa membawa umatnya keluar dari Mesir dari kejaran Raja Firaun.
"Baru lima belas persen dari Kota Petra yang sudah berhasil kita temukan, di bawah permukaan masih terdapat 85 persen sisanya, tak tersentuh," ungkap Zeidoun Al-Muheisen, seorang arkeolog dari Jordan's Yamouk University seperti dilansir National Geographic.
Para ahli arkeologi dan kepurbakalaan berpendapat bahwa mendalami penggalian misteri kota yang terletak di dataran rendah dan diapit oleh gunung-gunung yang membentuk sayap ini, akan membawa kepada jawaban atas sejarah dan peradaban Suku Nabatea, yang sejauh ini diyakini berperan penting memegang kontrol luas di area Yordania sampai ke Jazirah Arab. Suku Nabatean berasal dari Arab bagian Barat Laut. Mereka tinggal di wilayah Yordania tetapi berpindah-pindah sampai membentuk kerajaan tahun 312 SM.
Petra yang dalam bahasa Yunani berarti batu dan dalam bahasa Arab disebut al-Bitra. didirikan enam tahun Sebelum Masehi oleh Raja Aretas IV. Kota unik yang didirikan dengan menggali dan mengukir cadas setinggi 40 meter ini, merupakan Ibu Kota Kerajaan Nabatean. Kota yang aman dari bencana alam seperti badai pasir ini, sekaligus menjadi pusat perdagangan yang sangat ramai karena terletak di jalur distribusi barang antara Eropa dan Timur Tengah.
Kota Pertra mempunyai sistem pengairan yang luar biasa rumit. Saat itu, Suku Nabatean yang menempati kota ini, sudah mempunyai peradaban teknologi hidrolik untuk mengangkat air. Untuk memenuhi kebutuhan air penduduknya, di kota itu terdapat terowongan dan bilik air untuk menyalurkan air bersih ke kota. Selain itu, Suku Nabatean sangat mahir dalam membuat tangki air bawah tanah untuk mengumpulkan air bersih, yang bisa digunakan saat mereka bepergian jauh. Sehingga, di mana pun mereka berada, mereka bisa membuat galian untuk saluran air guna memenuhi kebutuhan mereka akan air bersih.
Di akhir abad ke-4 Sebelum Masehi, berkembangnya dunia perdagangan membuat suku Nabatean turut berkecimpung dalam perdagangan dunia. Rute perdagangan dunia mulai tumbuh subur di bagian selatan Yordania dan selatan Laut Mati. Mereka lalu memanfaatkan posisi tempat tinggal mereka yang strategis itu sebagai salah satu rute perdagangan dunia.
Suku Nabatean akhirnya bisa menjadi para saudagar yang sukses, dengan berdagang dupa, rempah-rempah, dan gading yang antara lain berasal dari Arab bagian selatan dan India timur. Letaknya yang strategis untuk mengembangkan usaha dan hidup, serta aman untuk melindungi diri dari orang asing, membuat suku Nabatean memutuskan di kota batu itu.
Untuk mempertahankan kemakmuran yang telah diraih, mereka memungut bea cukai dan pajak kepada para pedagang setempat atau dari luar yang masuk ke sana. Suku Nabatean akhirnya berhasil membuat kota internasional yang unik dan tak biasa. Puluhan ribu orang tinggal di kota ini untuk berdagang maupun sekadar transit.
Awal keruntuhan
Pada tahun 106 Masehi, Romawi mencaplok Petra, sehingga peran jalur perdagangannya melemah. Tak hanya itu, pendudukan oleh Romawi merupakan awal keruntuhan Petra, karena sejak itu serangkaian gempa bumi melanda kota ini. Selain itu, munculnya jalur-jalur perdagangan baru memaksa Petra mencapai titik nadir di masa Kekaisaran Byzantine pada sekitar pertengahan abad 7 M. Ketika sistem hidrolik dan beberapa bangunan utama yang menunjang kehidupan masyarakat di kota itu hancur menjadi puing, Petra ditinggalkan sampai akhirnya menghilang dari peta bumi dan tinggal menyisakan legenda selama berabad-abad.
Reruntuhan kota yang terkubur di bawah tanah ditemukan pada tahun 1812 oleh seorang petualang dari Swiss bernama Johann Ludwig Burchardt. Sang petualang sengaja menyamar menjadi orang Badui, karena suku inilah yang mengetahui keberadaan Kota Petra. Setelah penemuan itu, Kota Petra menjadi perhatian dan penelitian para arkeolog. Tahun 1985, UNESCO mendeklarasikan Taman Arkeologi Petra sebagai situs World Heritage. Kemudian pada Tahun 2007, situs bersejarah yang jaraknya sekitar 3-5 jam perjalanan dari Kota Amman, Yordania ini, dinobatkan sebagai salah satu keajaiban dunia.
Tak mengherankan jika Petra menjadi salah satu keajaiban dunia karena kota ini memang sangat spektakuler. Di Petra terdapat amat banyak bangunan religius semacam kuil, biara, makam, atau tempat pengorbanan. Semua bangunan tersusun dari batu pasir nan kokoh, dengan perpaduan arsitektur Timur Tengah dan Arab. Suku Nabatean memang hebat dalam hal arsitektur tata kota. Kemampuan mereka juga menghasilkan inovasi-inovasi dalam sistem irigasi, transportasi, dan penyimpanan. Sayangnya, sampai sekarang informasi tentang suku ini masih sangat sedikit, seperti halnya Kota Petra.
Sejarah Islam
Kota Petra mempunyai kaitan dengan sejarah Islam, karena kota ini tercantum dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Memang dalam hadis tidak disebutkan langsung Kota Petra, namun yang disebuat adalah bangsa Arab kuno bernama Anbath Asy-Syam. Menurut kitab Al-Qamus al-Islami, Kota Petra merupakan peninggalan Anbath Asy-Syam, yaitu bangsa Arab kuno yang tinggal di antara Semenanjung Sinai dan Harun.
Kota Petra dikelilingi gunung-gunung, salah satunya Gunung Harun atau Jabal Harun atau Gunung Hor atau El-Barra yang memiliki ketinggian sekitar 1.350 meter di atas permukaan laut. Banyak yang meyakini, di puncak Jabal Harun itulah Nabi Harun meninggal dan dimakamkan oleh Nabi Musa. Konon, Rasulullah SAW pernah mengunjungi gunung itu bersama pamannya Abu Thalib, saat berdagang ke Syam (Suriah).
Tradisi Arab meyakini, Petra merupakan tempat Nabi Musa (Musa) memukul batu dengan tongkatnya hingga keluarlah air dari batu tersebut. Di kota itu juga terdapat nama tempat Wadi Musa untuk menyebut lembah sempit di wilayah itu. Pada abad ke-14 Masehi, sebuah masjid dibangun di tempat itu dengan kubah berwarna putih yang terlihat dari berbagai area di sekitar Petra. Konon, Nabi Harun tiba di wilayah itu ketika mendampingi Nabi Musa membawa umatnya keluar dari Mesir dari kejaran Raja Firaun.
0 komentar:
Posting Komentar