Mohenjo Daro adalah sebuah kota purba yang terkubur lama di lembah
Indus, Pakistan sekarang. Kota ini diperkirakan telah muncul sekitar
tahun 6000 SM. Sebab-sebab kehancuran pusat peradaban tua yang canggih
ini telah diselidiki oleh para ilmuwan. Selain peperangan dan kerusakan
lingkungan, bencana banjir disebut-sebut sebagai sebab utama hancurnya
peradaban Mohenjo Daro. — with Tandi Skober.
Mohenjo-daro bahasa Urdu: موئن جودڑو, bahasa Sindhi : موئن جو دڙو, Bahasa Hindi : मोहन जोदड़ो adalah salah satu situs dari sisa-sisa permukiman terbesar dari Kebudayaan Lembah Sungai Indus, yang terletak di propinsi Sind, Pakistan. Dibangun pada sekitar tahun 2600 SM, kota ini adalah salah satu permukiman kota pertama di dunia, bersamaan dengan peradaban Mesir Kuno, Mesopotamia dan Yunani Kuno. Reruntuhan bersejarah ini dimasukkan oleh UNESCO ke dalam Situs Warisan Dunia. Arti dari Mohenjo-daro adalah “bukit orang mati”. Seringkali kota tua ini disebut dengan “Metropolis Kuno di Lembah Indus”.[1]
Mohenjo-daroMohenjo-daro, atau "Mound of the Dead" diduga sama dibangun untuk Harappa karena semua kota Indus memiliki sebuah Veda desain umum mencerminkan, terorganisir berpikir. Hal ini juga dapat membanggakan untuk menjadi kota pertama di dunia yang memiliki sistem penuh pengeringan. Sebuah sistem pengeringan yang luas untuk seluruh kota ditemukan di tanah Indus.
Selain relief gambar kambing, yang dijumpai di dinding bangunan kota
Mohenjo Daro adalah relief gambar badak. Tampaknya badak Mohenjo Daro
sekeluarga dengan badak Ujung Kulon, Jawa Barat.
Mohenjo-daro
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Reruntuhan arkeologis Moenjodaro | |
---|---|
Nama sebagaimana tercantum dalam Daftar Warisan Dunia | |
Negara | Pakistan |
Tipe | Kultural |
Kriteria | ii, iii |
Rujukan | 138 |
Kawasan UNESCO | Asia-Pasifik |
Sejarah pengukuhan | |
Tahun pengukuhan | 1980 (sesi Ke-4) |
Penemuan kembali dan penggalian
Mohenjo-daro dibangun sekitar tahun 2600 SM, tetapi dikosongkan sekitar tahun 1500 SM. Pada tahun 1922, kota ini ditemukan kembali oleh Rakhaldas Bandyopadhyay[2] dari Archaeological Survey of India. Ia dibawa ke sebuah gundukan oleh seorang biksu Budha yang mempercayai bahwa gundukan tersebut adalah sebuah stupa. Pada 1930-an, penggalian besar-besaran dilakukan di bawah pimpinan John Marshall, K. N. Dikshit, Ernest Mackay, dan lain-lain.[3]
Mobil John Marshall yang digunakan oleh para direktur situs masih
berada di museum Mohenjo-daro sebagai tanda untuk memperingati
perjuangan dan dedikasi mereka terhadap Mohenjo-daro. Penggalian
selanjutnya dilakukan oleh Ahmad Hasan Dani dan Mortimer Wheeler pada tahun 1945.
Penggalian besar terakhir di Mohenjo-daro dipimpin oleh Dr. G. F. Dales
pada tahun 1964-65. Setelah itu, kerja penggalian di situ dilarang
karena kerusakan yang dialami oleh struktur-struktur yang rentan akibat
kondisi cuaca. Sejak tahun 1965, hanya proyek penggalian penyelamatan,
pengawasan permukaan, dan konservasi yang diperbolehkan di situ.
Meskipun proyek arkeologi besar dilarang, namun pada 1980-an, tim-tim
peninjau dari Jerman dan Italia yang dipimpin oleh Dr. Michael Jansen
dan Dr. Maurizio Tosi, menggabungkan teknik-teknik seperti dokumentasi
arsitektur, tinjauan permukaan, dan penyelidikan permukaan, untuk
menentukan bayangan selanjutnya mengenai peradaban kuno tersebut.[4]
Lokasi
Mohenjo-daro terletak di Sindh, Pakistan di sebuah bubungan zaman
Pleistosen di tengah-tengah dataran banjir Sungai Sindhu. Bubungan
tersebut kini terkubur oleh pembanjiran dataran tersebut, tetapi sangat
penting pada zaman Peradaban Lembah Indus. Bubungan tersebut
memungkinkan kota Mohenjo-daro berdiri di atas dataran sekelilingnya.
Situs tersebut terletak di tengah-tengah jurang di antara lembah Sungai
Sindhu di barat dan Ghaggar-Hakra di timur. Sungai Sindhu masih mengalir ke timur situs itu, tetapi dasar sungai Ghaggar-Hakra kini sudah kering.[5]
Pembangunan antropogenik selama bertahun-tahun dipercepat oleh kebutuhan memperluas tempat. Bubungan tersebut diluaskan melalui platform
bata lumpur raksasa. Akhirnya, penempatan tersebut meluas begitu besar
sehingga ada bangunan yang mencapai 12 meter di atas permukaan dataran
masa kini.[6]Kepentingan
Pada zaman dahulu, Mohenjo-daro merupakan salah satu pusat administratif Peradaban Lembah Indus kuno.[7] Pada puncak kejayaannya, Mohenjo-daro adalah kota yang paling terbangun dan maju di Asia Selatan, dan mungkin juga di dunia. Perencanaan dan tekniknya menunjukkan kepentingan kota ini terhadap masyarakat lembah Indus.[8]
Peradaban Lembah Indus (c. 3300-1700 SM, f. 2600-1900 SM) adalah sebuah peradaban sungai kuno yang berkembah di lembah sungai Indus di India Kuno (kini di Pakistan dan India Barat Laut). Peradaban ini juga dikenal sebagai “Peradaban Harappa.”
Kebudayaan Indus berkembang berabad-abad lamanya, lalu mengalami
kebangkitan sekitar tahun 3000 SM. Peradaban tersebut menjangkau wilayah
yang kini diduduki negara Pakistan dan India Utara, tetapi tiba-tiba mengalami kemerosotan sekitar tahun 1900 SM. Pemukiman Peradaban Indus tersebar sejauh pantai Laut Arab di Gujarat di selatan, perbatasan Iran di barat, dengan kota perbatasan di Bactria. Di antara permukiman-permukiman itu, pusat kota utama berada di Harappa dan Mohenjo-daro, dan juga Lothal.
Puing-puing Mohenjo-daro adalah salah satu pusat utama dalam masyarakat
kuno ini. Beberapa arkeolog berpendapat bahwa Peradaban Indus mencapai
jumlah lima juta penduduk pada puncaknya.
Saat ini, lebih dari seribu kota dan permukiman telah ditemukan,
terutama di lembah Sungai Sindhu di Pakistan dan India barat laut.Arsitektur dan prasarana kota
Mohenjo-daro memiliki bangunan yang luar biasa, karena memiliki tata letak terencana yang berbasis grid
jalanan yang tersusun menurut pola yang sempurna. Pada puncak
kejayaannya, kota ini diduduki sekitar 35.000 orang. Bangunan-bangunan
di kota ini begitu maju, dengan struktur-struktur yang terdiri dari
batu-bata buatan lumpur dan kayu bakar terjemur matahari yang merata
ukurannya.
Bangunan-bangunan publik di kota ini adalah lambang masyarakat yang
sangat terencana. Bangunan yang bergelar Lumbung Besar di Mohenjo-daro
menurut interpretasi Sir Mortimer Wheeler pada tahun 1950 dirancang
dengan ruang-ruang untuk menyambut gerobak yang mengirim hasil tanaman
dari desa, dan juga ada saluran-saluran pendistribusian udara untuk
mengeringkannya. Akan tetapi, Jonathan Mark Kenoyer memperhatikan bahwa
tidak ada catatan mengenai keberadaan hasil panen dalam lumbung ini.
Maka dari itu, Kenoyer mengatakan lebih tepat untuk menjulukinya sebagai
“Balai Besar”.
Di dekat lumbung tersebut ada sebuah bangunan publik yang pernah berfungsi sebagai permandian umum besar,
dengan tangga yang turun ke arah kolam berlapis bata di dalam lapangan
berderetan tiang. Wilayah permandian berhias ini dibangun dengan baik,
dengan lapisan tar
alami yang menghambat kebocoran, di samping kolam di tengah-tengah.
Kolam yang berukuran 12m x 7m, dengan kedalaman 2.4m ini mungkin
digunakan untuk upacara keagamaan atau kerohanian.
Di dalam kota, air dari sumur disalurkan ke rumah-rumah. Beberapa rumah
ini dilengkapi kamar yang terlihat ditetapkan untuk mandi. Air buangan
disalurkan ke selokan tertutup yang membarisi jalan-jalan utama. Pintu
masuk rumah hanya menghadap lapangan dalam dan lorong-lorong kecil. Ada
berbagai bangunan yang hanya setinggi satu dua tingkat.
Sebagai kota pertanian, Mohenjo-daro juga bercirikan sumur besar dan
pasar pusat. Kota ini juga memiliki sebuah bangunan yang memiliki hypocaust, yang kemungkinan digunakan untuk pemanasan air mandi.
Mohenjo-daro adalah sebuah kota yang cukup terlindungi. Walau tak ada
tembok, namun terdapat menara di sebelah barat pemukiman utama, dan
benteng pertahanan di selatan. Perbentengan tersebut, dan struktur
kota-kota lain di Lembah Indus seperti Harappa,
menimbulkan pertanyaan apakah Mohenjo-daro memang pusat administrasi.
Harappa dan Mohenjo-daro memiliki arsitektur yang mirip, dan tidak
berbenteng kuat seperti situs-situs lain di Lembah Indus. Jelas sekali
dari tata ruang di semua situs-situs Indus, bahwa ada suatu pusat
politik atau administrasi, hanya saja tidak jelas lagi sejauh mana
jangkauan dan fungsi pusat administrasi tersebut.
Mohenjo-daro telah dimusnahkan dan dibangun kembali setidaknya tujuh
kali. Setiap kali, kota baru dibangun terus di atas kota lama. Banjir
dari Sungai Indus diduga menjadi penyebab utama kerusakan.
Kota ini terbagi atas dua bagian, yaitu benteng kota
dan kota hilir. Kebanyakan wilayah kota hilir masih belum ditemukan. Di
benteng kota terdapat sebuah permandian umum, struktur perumahan besar
yang dirancang untuk menempatkan 5.000 warga, dan dua buah dewan
perhimpunan besar.
Mohenjo-daro, Harappa
dan peradaban masing-masing, lenyap tanpa jejak dari sejarah sampai
ditemukan kembali pada 1920-an. Penggalian besar-besaran dilakukan di
situ pada 1920-an, namun tidak ada penggalian secara mendalam yang
dilakukan lagi sejak tahun 1960-an.
Artefak
Patung “gadis menari” yang ditemukan di Mohenjo-daro adalah sebuah
artefak yang berusia sekitar 4500 tahun. Patung perunggu dengan panjang
10.8 cm ini ditemukan di sebuah rumah di Mohenjo-daro pada tahun 1926.
Patung kecil ini adalah patung favorit arkeolog Inggris Mortimer Wheeler, seperti yang dipetik dari sebuah acara televisi tahun 1973:
- “Muka kecilnya gaya Balochi dengan bibir yang cemberut dan paras yang terlihat tidak sopan. Saya rasa umurnya tak lebih lima belas tahun, tetapi tidak memakai apa-apa selain gelang di lengan. Seorang gadis yang benar-benar percaya diri terhadap dirinya dan dunianya. Saya rasa patung ini tidak ada duanya di dunia ini. “
John Marshall, salah seorang penggali di Mohenjo-daro, menggambarkan
gadis tersebut sebagai kesan jelas seorang gadis muda, berpostur kurang
sopan dengan sebelah tangan mencekak pinggul, sambil mengikuti rentak
musik dengan tangan dan kaki.[9]
Sebuah patung lelaki duduk dengan tinggi 17.5 cm yang bergelar “Raja
Pendeta” (walaupun tiada bukti pendeta atau raja memerintah kota ini),
adalah satu lagi artefak yang menjadi lambang peradaban lembah Indus.
Patung ini ditemukan oleh para arkeolog di Kota Hilir Mohenjo-daro pada
tahun 1927. Patung tersebut ditemukan di sebuah rumah yang arsitektur
batanya berhias dan berceruk dinding, terlantar di antara dinding dasar
bata yang pernah menampung tingkat rumah. Patung berjanggut ini memakai
pita rambut, lilitan lengan, dan mantel berhias pola trefoil yang aslinya berisi pigmen merah. (Profil patung ini mirip dengan patung serupa yang ada di candi Cetho di Jawa tengah. AYS)
Status UNESCO
Pemeliharaan Mohenjo-daro ditunda pada Desember 1996 setelah berhentinya
pendanaan dari pemerintah dan organisasi internasional. Pada April
1997, Organisasi Pendidikan, Sains dan Kebudayaan PBB (UNESCO) membiayai
proyek $10 juta untuk perlindungan situs dan struktur-struktur yang
masih bertahan dari banjir selama 20 tahun.
Harappa & Mohenjo-daro
Berdasarkan
penelitian oleh Sonia SaleemHarappa atau "Hari-Yupuya" sebagaimana
disebutkan dalam "Rig Veda" menandai ketinggian pembangunan perkotaan
dari peradaban lembah Indus pada 2600 SM sampai 1.900 SM selama 700 tahun. Harappa
terletak di provinsi Punjab hari ini, dekat kota Sahiwal, dan dalam
kemuliaan penuh adalah proto tipe sempurna dari sebuah kota yang
sepenuhnya dikembangkan dari peradaban lembah Indus. Itu adalah refleksi sempurna dari jenis pemikiran yang terorganisir Rig Veda ditekankan. [Wheeler, Kenoyer].
Harappa memiliki awal yang sederhana sama seperti kota besar lainnya. Ini
dimulai sebagai sebuah pemukiman desa, secara bertahap berkembang
selama berabad-abad untuk mengakomodasi industri kerajinan terkenal,
pasar dunia dapat diakses, dan daerah pemukiman bersih dan pemakaman. Harappa adalah 128.800 pedalaman, dan 150 hektar di daerah. Harappa
kota begitu dikembangkan dan pusat Kekaisaran Indus bahwa nama Harappa
menjadi identik dengan budaya yang dominan pada saat itu, diikuti oleh
semua kota-kota lain di wilayah Indus, sampai ke Kutch di pantai di
India hari ini. [Rehman, Kenoyer]. Oleh karena itu, reruntuhan Harappa tiga mil di lingkar. Reruntuhan kota ini dibagi ke dalam gundukan, berlabel dari gundukan A, ke G oleh arkeolog, membuat poin mudah diidentifikasi. Gundukan yang umum untuk semua kota Indus, dan tinggi gundukan itu, daerah yang lebih sentral dan penting berada di kota. Misalnya gundukan benteng hampir selalu gundukan tertinggi. Ini
pola dasar Indus Kota dibangun pada sumbu timur-barat, utara-selatan,
dan dikelilingi oleh empat tembok kota dengan gerbang pintu masuk besar
di dinding barat. Gerbang adalah 2,8 meter, dan 3 sampai 4 meter, [Kenoyer], tetap dengan kamar atau melihat keluar tulisan di atas. [Kenoyer]. Di
dalam gateway ada ruang besar untuk pasar sehingga memudahkan barang
yang akan diangkut dalam dan diperiksa, pajak dan dijual. The
Ox dan keranjang adalah metode yang digunakan untuk mengangkut
barang-barang, dan pintu masuk itu hanya cukup besar untuk memungkinkan
satu keranjang masuk dan keluar pada suatu waktu. Setelah masuk pintu gerbang kota, dan melewati ruang pasar, jaringan jalan menuju ke pusat kota. Jalan utara menyebabkan semua lokakarya shell dan batu akik, memimpin jalan barat ke tembaga-kerajinan lokakarya. Bukti dari caravanserai ditemukan di luar, dan selatan dari gerbang utama kota. Isinya rumah, saluran air, mandi, wel, l dan kandang untuk kuda. [Kenoyer 55].
Itu
benar-benar berhenti dan akomodatif untuk bepergian pedagang dan
pedagang, seperti Harappa merupakan bagian integral dari rute
perdagangan kuno. Pedagang justru membantu infrastruktur-berkembang di wilayah tersebut. Kenoyer
menyebutkan bahwa jalan modern yang digunakan di luar kini gerbang
kota, dekat lokasi lama yang caravanserai berada dalam semua kemungkinan
ditata 4500 tahun yang lalu oleh pedagang Harappa. Ini caravanserai digunakan untuk transfer pos sepanjang rute juga, melayani Lahore dan Multan. Ini
caravanserai disimpan dalam penggunaan selama ribuan tahun kemudian
oleh pedagang bepergian, sekali lagi memverifikasi fakta bahwa kota
Harappa terletak di posisi strategis untuk jalur perdagangan.Sebuah gerbang kedua terletak 200 meter sebelah timur dari yang pertama. Gerbang ini memimpin ke pinggiran kota yang juga menghasilkan ornamen, kerajinan dan artefak lainnya untuk perdagangan. Gerbang
ini juga memiliki caravanserai sekitar 50 meter selatan luar, untuk
mengakomodasi para pedagang yang datang ke ini bagian dari kota. [Kenoyer 55].Tidak ada bukti dari istana atau residensi besar untuk seorang raja atau penguasa di pusat kota. Namun ada sebuah bangunan besar di antara rumah-rumah yang terlihat banyak di pinggiran utara kota. Tetapi
berpikir bahwa itu adalah gudang, karena ada banyak pekerjaan
melingkar-platform di mana kerajinan kerja, dan keramik dibuat. [Kenoyer 55]. Menurut
peta Harrapa, yang dibuat oleh Sir Mortimer Wheeler, selain itu
carvanserai, lumbung, kuburan, dan tempat para pekerja itu berada di
luar tembok kota. Dari peta itu juga tampaknya seperti dinding barat terdapat sebagian besar gerbang diakses ke kota, serta pintu masuk utama. Perluasan Harappa adalah bertahap, dan pendatang dari kota-kota lain, dan bangsa-bangsa yang tidak biasa. Namun satu budaya dominan di Harappa, dan pada kenyataannya Harappa budaya mendominasi sisa kota-kota juga. Hal ini memastikan perdamaian dan harmoni di seluruh wilayah Indus. Bahkan sebelum Harappa menjadi episentrum budaya, kedamaian dan harmoni mendominasi wilayah Indus. Non-kekerasan,
bahkan dalam bentuk pertahanan diri, merupakan bagian dari agama Indus,
sehingga semua invasi atau migrasi tidak menolak, juga tidak ada
bentrokan antara suku. Gerbang kota tidak dibangun untuk melawan segala jenis serangan militer, tidak pula dinding yang dibuat untuk membela diri. Dinding sekitar gundukan dengan di kota hanya dibatasi daerah yang berbeda. [Kenoyer 56]. Sebuah ancaman perang itu bahkan tidak ide atau pemikiran di lembah Indus. Sebuah budaya yang seragam disebarkan kedamaian. Kota ini melayani khusus untuk kelancaran perdagangan, dan bisnis, yang lain integral dari agama Indus.
Mohenjo-daroMohenjo-daro, atau "Mound of the Dead" diduga sama dibangun untuk Harappa karena semua kota Indus memiliki sebuah Veda desain umum mencerminkan, terorganisir berpikir. Hal ini juga dapat membanggakan untuk menjadi kota pertama di dunia yang memiliki sistem penuh pengeringan. Sebuah sistem pengeringan yang luas untuk seluruh kota ditemukan di tanah Indus.
Kota Mohenjo-daro adalah 169.260 km persegi pedalaman, dan 250 hektar. [Kenoyer]. Hal ini juga menunjukkan bahwa Mohenjo-daro lebih tua dari Harappa. Namun, sisa-sisa Mohenjo-daro tidak semua lengkap karena mereka berada di tempat digali dari Harappa. Tidak
ada sisa-sisa fisik dinding dan gateway, tetapi ukuran dasar dari
tembok yang mengelilingi kota menunjukkan bahwa dinding itu mungkin
megah daripada Harappa. Mohenjo-daro
sering dikunjungi oleh banjir, yang merupakan alasan utama mengapa
tidak berkembang dengan cara yang sama bahwa Harappa lakukan, dan
mungkin penyebab kehancuran utamanya. Benteng timur pada waktu itu terletak sangat dekat dengan Sungai Indus. Banjir
di wilayah ini masih menjadi perhatian dan masalah, meskipun cabang
terdekat dari sungai telah bergeser 3 mil jauhnya di sebelah timur. [Wheeler].Sebuah
stupa Buddha dan biara ditemukan di atas benteng Barat, dan dibangun di
sana beberapa abad setelah runtuhnya peradaban Indus, di 200 SM Antara
kematian lengkap dari peradaban Indus, dan penyebaran agama Buddha, ada
kota lain sebesar Mohenjo-daro ada di wilayah ini. Mohenjo-daro dengan demikian dibangun sebagai grid, diselenggarakan pada sumbu utara-selatan, timur-barat. Ini dibangun sebagai lereng, jelas untuk melawan banjir. Benteng Barat adalah gundukan tertinggi, yang secara bertahap berlari timur, membuat benteng timur gundukan terendah. Serupa
dengan Harappa, gundukan tertinggi menandai bagian, lebih penting pusat
kota, di mana pejabat dan penguasa hidup, dan mungkin merupakan hub
untuk perdagangan di ini bagian dari Kekaisaran Indus.Harappa
dan Mohenjo-daro adalah ibukota mengutip dari peradaban Indus, namun
Sungai Indus bukanlah cara air-satunya yang termasuk dalam peradaban
ini. The
Ghaggar-Hakra Sungai adalah sungai lainnya makan peradaban Indus
lembah, tapi mengering selama berabad-abad untuk menjadi gurun
Cholistan. Itu berlari melalui bidang Punjab dan Sindh hari ini, paralel dan timur Indus. Ibukota,
dan kota-kota Ganweriwala, Rakhigarhi, yang terletak di titik-titik
yang berbeda dari tepi Indus, fundamental untuk menjadi bagian dari rute
perdagangan. Dua yang terakhir hanya mencakup 80 hektar di daerah masing-masing, tetapi sama pentingnya untuk perdagangan. Dholavira
menutupi 100 hektar di daerah, dan yang paling terjauh dari pusat,
tetapi terletak di Rann of Kutch, yang sekarang hari Gujarat India
sekarang. Oleh
karena itu menjabat sebagai dasar yang baik untuk impor dan ekspor
barang-barang di luar Laut Arab, dan ikan, dan kerang laut ditemukan
disediakan dan disalurkan sekitar peradaban Indus. Kota-kota yang lebih kecil dibangun banyak dalam grid, terorganisir sama seperti cara sebagai ibukota. Indus arsitektur dapat didefinisikan sebagai logis, rapi, fungsional, sederhana, dan berusaha untuk ketertiban dan organisasi. [Kenoyer, Wheeler]. Agama dan perdagangan rute yang jelas inti dan inti dari keberadaan kota-kota ini."Hidup adalah satu proses panjang mulai lelah." [Samuel Butler.] Pergeseran wilayah kebudayaan Indus ke wilayah Gangga;.Semua hal, besar atau kecil harus berakhir. Sebuah peradaban besar, berkembang, dan damai seperti peradaban Indus mengejutkan tidak berakhir. Diperkirakan bahwa perubahan lingkungan, dan pergeseran lempeng tektonik di bawah bumi membantu dalam kehancurannya. Sebab-sebab
alamiah menunjukkan evolusi, perubahan bertahap lambat dan stabil dari
pusat perdagangan perdagangan pergeseran timur ke sistem air utama di
benua sub-. Seluruh peradaban bergeser timur, dan selatan.Menurut Sir Mortimer Wheeler, penyebab pastinya ambigu. Dia
mengatakan "Over-ambisius perang, invasi barbar, intrik dinasti atau
kapitalistik, iklim, nyamuk malaria telah mendesak beberapa kali dalam
satu konteks atau lain sebagai penyebab over-semua." [126, Wheeler.]
Jadi tidak ada satu alasan untuk runtuhnya peradaban Indus. Mungkin
itu aman untuk mengatakan bahwa sebagai sebuah peradaban yang
menggambarkan populasi, itu tidak benar-benar kematian, tapi pindah. Sebagai ras, peradaban Indus masih hidup, dan telah berkembang, dan orang-orang yang dikenal sebagai hari Pakistan. Sebuah
sejarah peradaban Indus sebagai ras adalah sejarah pergeseran dan
perubahan, namun perubahan bertahap dan evolusi, bukan pergolakan
dramatis atau revolusi. Orang-orang Indus tidak mati. Mereka hanya cukup bergerak di sekitar benua sub-besar karena kondisi lingkungan yang tidak dapat dihindari. Dan
sejak saat invasi Arya, bermain antar-dengan pedagang dari seluruh
Teluk dan Mesopotamia, dan sisanya dari benua sub-, lembah Indus ras
selalu mengalami perubahan. Ini adalah daerah yang terutama menyambut pengaruh asing, untuk hubungan dagang yang kuat. Pembauran ras dan pengaruh asing adalah fitur alami dari lembah Indus peradaban SM Vedisme dikembangkan dengan Arya seru, yang akhirnya berkembang menjadi Brahamism, Jainisme, dan Buddhisme. Perdagangan membuat wilayah Indus yang terkenal, dan menarik bagi orang asing. Sebuah sejarah wilayah Indus adalah sejarah invasi.Sebagai Kekaisaran, sebagai kekuatan geo-ekonomi yang fantastis, tua, dan mengakar, peradaban Indus lembah itu berakhir. Mohenjo-daro
adalah di semua kemungkinan bernama "Mound orang mati", karena itu
adalah sebuah kota yang terus-menerus banjir, menyebabkan kerusakan
reoccurring dan rekonstruksi. Ada titik di mana penduduk pikir itu bijaksana untuk bergerak pada akhirnya, bukan merekonstruksi. Banjir yang sesering tahunan, Sungai Indus akan membengkak setiap tahun karena hujan dan salju mencair. Ini secara bertahap menjadi semakin tidak diinginkan, dan benar-benar tidak aman dihuni. Bukti
banjir ekstrem masih jelas sebagai lumpur-liat deposito berbaring di
seluruh kota, di atas puing-puing pada saat penggalian nya. Di
bawah lumpur massa tanah liat yang dikubur lapis demi lapis platform
bata yang di atasnya penduduk kota terus membangun kembali rumah-rumah
dan toko mereka setelah banjir baru-baru ini. [Wheeler]. Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Dr Dales pada tahun 1960, perdagangan
laut benar-benar berhenti di sepanjang Pantai Makran dengan Teluk Persia
sekitar 1900 SM karena sering banjir kehancuran membuat Mohenjo-daro tidak layak untuk perdagangan internasional, dan pasar. Ini berarti bahwa kematian Mohenjo-daro tak terelakkan. [Wheeler]. Bahkan
penduduk kota yang mampu bergerak dan membangun kembali kehidupan
mereka di kota-kota lain telah menemukan lebih layak untuk meninggalkan,
akibatnya mengubah kota yang makmur dari Mohenjo-daro in ke kumuh putus
asa. Fokus
perdagangan sehingga bergeser ke Harappa dan Rann of Kutch dan
perkotaan kota Dholavira menjadi jalur laut untuk perdagangan Persia. Harappa Keberhasilan itu dengan demikian juga tak terelakkan.Harappa tidak kematian sebagai sebuah kota, seperti bencana alam tidak memukul jalan. Namun, pentingnya Harappa sebagai ciri khas budaya Indus melakukan pergeseran.Hal
ini disebutkan di atas berulang kali bahwa budaya Harappa
mendefinisikan budaya Indus secara keseluruhan, dengan 2.600 SM dan
seterusnya. Periode ini ditandai dengan puncak kesuksesan wilayah Indus sebagai peradaban yang maju, dan progresif. Namun
1.900 SM dan seterusnya melihat pergeseran bertahap dari pusat
teritorial budaya dari wilayah Indus ke tengah, wilayah Sungai Gangga. Hal ini juga dikenal sebagai fase akhir Harappa. Kebudayaan
Indus, juga dikenal sebagai budaya Harappa bergeser panjang dengan
rakyatnya, memberikan ruang untuk itu untuk berkembang menjadi sebuah
peradaban baru, dengan mengumpulkan keyakinan baru. Harappa
kesatuan rusak ke terfragmentasi, masyarakat kecil, menyebar-keluar
sejauh Afghanistan, dan Asia Tengah di utara-barat, dan Gangga-Yamuna
Rivers di selatan-timur. Peluang biaya? Atau hanya kesempatan yang polos? Buddhisme berkembang sekitar 600 SM dan menyebar meskipun-out benua sub-, sementara terus mendukung pentingnya perdagangan. Kebanyakan
pedagang dan pedagang adalah Buddha, sebagai sistem pengetahuan yang
percaya pada kesetaraan, yang bertentangan dengan tradisi Arya hirarki
sosial. Rute
perdagangan sehingga menyebar, sehingga invasi lebih, pergolakan
politik lebih besar, lebih banyak perdagangan, migrasi lebih, dan
penyebaran agama Buddha. Caravanserais Kebanyakan juga vihara, di mana Buddha biarawan siap melayani pedagang bepergian lelah oleh 300-200 SM Alexander Agung tiba di 326 B.C.E. hanya untuk memulai era baru kebudayaan yang merupakan campuran budaya Yunani dan Buddha yang dikenal sebagai budaya Ghandara. Kebudayaan
Indus telah berevolusi ke sekolah lebih matang pemikiran, serta
berpegang pada pentingnya perdagangan, dan lebih menyebar luas. Ini
memungkinkan untuk pengembangan daerah, seperti Gujurat, dan sistem air
lainnya, seperti The Yamuna-Ganga sistem dengan yang termasuk dalam
rute perdagangan yang pernah berkembang. [Kenoyer].Kota-kota
kecil dan desa-desa lainnya di seluruh wilayah Indus Almarhum hanya
karena pergeseran ke arah sungai besar, menyebabkan tempat tidur sungai
paling untuk mengering sepenuhnya. Ini pembangunan pertanian kiri di pit. Orang-orang harus bergerak ke timur. Selain perdagangan, dan pertanian, Indus seni dan kerajinan praktik juga tetap hidup. Teknologi tembikar berkembang, dan melihat lebih banyak hewan yang termasuk dalam pot ini untuk dekorasi. Ini menjadi mudah untuk mengatakan seberapa jauh budaya Indus menyebar dan berkembang. [Kenoyer].Ini
tradisi baru kemudian dikenal sebagai tradisi Indo-Gangga, link yang
sangat berharga yang telah menentukan jalannya sejarah melalui-out benua
sub-, dan masih mendefinisikan budaya kedua daerah saat ini. Link ini menandai tingkat baru pembangunan bagi masyarakat menetap oleh SM 300 Namun,
itu adalah jenis baru pembangunan yang melihat munculnya negara-kota
kecil dijalankan oleh monarki, tentara, logam senjata yang digunakan
untuk pertempuran, kuda kereta bukan sapi-menarik yang, dan tentu saja,
politik menjadi permainan kekuasaan.Hubungan Indo-Gangga unarguably mendefinisikan suasana main-stream budaya Pakistan hari ini. Ini
secara intrinsik link teritorial; orang-orang dari Sungai Indus
didirikan dengan Sungai Ganga, keluar dari naluri manusia semata-mata
untuk bertahan hidup. Peradaban Indus lembah kematian tidak secara keseluruhan. Ini
kehilangan bagian dari dirinya sendiri dalam bentuk kota Mohenjo-daro,
serta kota-kota kecil di selatan, dan perdagangan di sepanjang pantai
Teluk Makran. Tapi
dengan menggeser timur, memperoleh sistem lain air yang membantu
mengembangkan budaya Indus lembah, pemikiran, agama, dan perdagangan. Sejarah kebudayaan Indus adalah sejarah pergeseran teritorial. Ini
naturalizes gagasan dari beraneka ragam suku, tidak hanya yang ada
bersama-sama, tapi antar-peternakan untuk membuat etnis baru. Semua ini telah terjadi selama 5000 tahun, dan dalam satu lahan. Untuk mengabaikan hal ini, adalah untuk mengabaikan sejarah dasar budaya kami. Budaya kita adalah budaya asli berdasarkan lanskap kami berubah. Orang-orang dari Indus mempengaruhi wilayah Sungai Gangga terutama, dan bukan sebaliknya. Budaya yang dipraktekkan saat ini adalah budaya yang telah dipraktekkan selama berabad-abad di lembah Indus. Adalah aman untuk mengatakan bahwa sejarah benua sub-dimulai di wilayah Indus.