Senin, 20 Oktober 2014

Bukti NASA : Mahabartha Bukan Sekedar Mitos

pandawa

Kisah ini menceritakan konflik hebat keturunan Pandu dan Dristarasta dalam memperebutkan takhta kerajaan. Menurut sumber yang saya dapatkan, epos ini ditulis pada tahun 1500 SM. Namun fakta sejarah yang dicatat dalam buku tersebut masanya juga lebih awal 2.000 tahun dibanding penyelesaian bukunya. Artinya peristiwa yang dicatat dalam buku ini diperkirakan terjadi pada masa ±5000 tahun yang silam.

Buku ini telah mencatat kehidupan dua saudara sepupu yakni Kurawa dan Pandawa yang hidup di tepian sungai Gangga meskipun akhirnya berperang di Kurukshetra. Namun yang membuat orang tidak habis berpikir adalah kenapa perang pada masa itu begitu dahsyat? Padahal jika dengan menggunakan teknologi perang tradisional, tidak mungkin bisa memiliki kekuatan yang sebegitu besarnya.

Spekulasi baru dengan berani menyebutkan perang yang dilukiskan tersebut, kemungkinan adalah semacam perang nuklir! Perang pertama kali dalam buku catatan dilukiskan seperti berikut ini: bahwa Arjuna yang gagah berani, duduk dalam Weimana (sarana terbang yang mirip pesawat terbang) dan mendarat di tengah air, lalu meluncurkan Gendewa, semacam senjata yang mirip rudal/roket yang dapat menimbulkan sekaligus melepaskan nyala api yang gencar di atas wilayah musuh. seperti hujan lebat yang kencang, mengepungi musuh, dan kekuatannya sangat dahsyat.

Dalam sekejap, sebuah bayangan yang tebal dengan cepat terbentuk di atas wilayah Pandawa, angkasa menjadi gelap gulita, semua kompas yang ada dalam kegelapan menjadi tidak berfungsi, kemudian badai angin yang dahsyat mulai bertiup wuuus..wuuus.. disertai dengan debu pasir. Burung-burung bercicit panik seolah-olah langit runtuh, bumi merekah. Matahari seolah-olah bergoyang di angkasa, panas membara yang mengerikan yang dilepaskan senjata ini, membuat bumi bergoncang, gunung bergoyang, di kawasan darat yang luas, binatang-binatang mati terbakar dan berubah bentuk, air sungai kering kerontang, ikan udang dan lainnya semuanya mati. Saat roket meledak, suaranya bagaikan halilintar, membuat prajurit musuh terbakar bagaikan batang pohon yang terbakar hangus.

Jika akibat yang ditimbulkan oleh senjata Arjuna bagaikan sebuah badai api, maka akibat serangan yang diciptakan oleh bangsa Alengka juga merupakan sebuah ledakan nuklir dan racun debu radioaktif.

Gambaran yang dilukiskan pada perang dunia ke-2 antara Rama dan Rahwana lebih membuat orang berdiri bulu romanya dan merasa ngeri: pasukan Alengka menumpangi kendaraan yang cepat, meluncurkan sebuah rudal yang ditujukan ke ketiga kota pihak musuh. Rudal ini seperti mempunyai segenap kekuatan alam semesta, terangnya seperti terang puluhan matahari, kembang api bertebaran naik ke angkasa, sangat indah. Mayat yang terbakar, sehingga tidak bisa dibedakan, bulu rambut dan kuku rontok terkelupas, barang-barang porselen retak, burung yang terbang terbakar gosong oleh suhu tinggi. Demi untuk menghindari kematian, para prajurit terjun ke sungai membersihkan diri dan senjatanya.

Banyak spekulasi bermunculan dari peristiwa ini, diantaranya ada sebuah spekulasi baru dengan berani menyebutkan bahwa perang Mahabarata adalah semacam perang NUKLIR!!

Tapi, benarkah demikian yang terjadi sebenarnya? Mungkinkah jauh sebelum era modern seperti masa kita ini ada sebuah peradaban maju yang telah menguasai teknologi nuklir? Sedangkan masa sebelum 4000 SM dianggap sebagai masa prasejarah dimana peradaban Sumeria dianggap peradaban tertua didunia tidak ditemukan kemajuan semacam ini?

Namun selama ini terdapat berbagai diskusi, teori dan penyelidikan mengenai kemungkinan bahwa dunia pernah mencapai sebuah peradaban yang maju sebelum tahun 4000 SM.

Teori Atlantis, Lemuria, kini makin diperkuat dengan bukti tertulis seperti percakapan Plato mengenai dialog Solon dan pendeta Mesir kuno mengenai Atlantis, naskah kuno Hinduisme mengenai Ramayana & Bharatayudha mengenai dinasti Rama kuno, dan bukti arkeologi mengenai peradaban Monhenjo-Daroo, Easter Island dan Pyramid Mesir maupun Amerika Selatan.

# Penelusuran fakta ilmiah
Akhir-akhir ini perhatian saya tertuju pada sebuah teori mengenai kemungkinan manusia pernah memasuki zaman nuklir lebih dari 6000 tahun yang lalu. Peradaban Atlantis di barat, dan dinasti Rama di Timur diperkirakan berkembang dan mengalami masa keemasan antara tahun 30.000 SM hingga 15.000 SM.

Atlantis memiliki wilayah mulai dari Mediteranian hingga pegunungan Andes di seberang Samudra Atlantis sedangkan Dinasti Rama berkuasa di bagian Utara India-Pakistan-Tibet hingga Asia Tengah. Peninggalan Prasasti di Indus, Mohenjo Daroo dan Easter Island (Pasifik Selatan) hingga kini belum bisa diterjemahkan dan para ahli memperkirakan peradaban itu berasal jauh lebih tua dari peradaban tertua yang selama ini diyakini manusia (4000 SM). Beberapa naskah Wedha dan Jain yang antara lain mengenai Ramayana dan Mahabharata ternyata memuat bukti historis maupun gambaran teknologi dari Dinasti Rama yang diyakini pernah mengalami zaman keemasan dengan tujuh kota utamanya ‘Seven Rishi City’ yg salah satunya adalah Mohenjo Daroo (Pakistan Utara).

Dalam suatu cuplikan cerita dalam Epos Mahabarata dikisahkan bahwa Arjuna dengan gagah berani duduk dalam Weimana (sebuah benda mirip pesawat terbang) dan mendarat di tengah air, lalu meluncurkan Gendewa, semacam senjata yang mirip rudal/roket yang dapat menimbulkan sekaligus melepaskan nyala api yang gencar di atas wilayah musuh, lalu dalam sekejap bumi bergetar hebat, asap tebal membumbung tinggi diatas cakrawala, dalam detik itu juga akibat kekuatan ledakan yang ditimbulkan dengan segera menghancurkan dan menghanguskan semua apa saja yang ada disitu.

Yang membuat orang tidak habis pikir, sebenarnya senjata semacam apakah yang dilepaskan Arjuna dengan Weimana-nya itu?

Ada beberapa penelitian yang berusaha menguak tabir misteri kehidupan manusia di masa lampau ini. Tentang bagaimana kehidupan sosial hingga kemajuan ilmu dan teknologi mereka. Beberapa waktu belakangan banyak hasil penelitian yang mengejutkan. Dan dari berbagai sumber yang telah saya pelajari, secara umum penggambaran melalui berbagai macam teori dan penelitian mengenai subyek ini telah pula memberikan beberapa bahan kajian yang menarik, antara lain adalah:

Permulaan sebelum dua milyar tahun hingga satu juta tahun dari peradaban manusia sekarang ini teryata telah terdapat peradaban manusia. Dalam masa-masa yang sangat lama ini terdapat berapa banyak peradaban yang demikian maju namun akhirnya menuju pada sebuah kebinasaan? Dan penyebab kebinasaan itu adalah tiada lain akibat peperangan yang pernah terjadi.

Atlantis dan Dinasti Rama pernah mengalami masa keemasan (Golden Age) pada saat yang bersamaan (30.000-15.000 SM). Keduanya sudah menguasai teknologi nuklir. Keduanya memiliki teknologi dirgantara dan aeronautika yang canggih hingga memiliki pesawat berkemampuan dan berbentuk seperti UFO (berdasarkan beberapa catatan) yang disebut Vimana (Rama) dan Valakri (Atlantis).

Penduduk Atlantis memiliki sifat agresif dan dipimpin oleh para pendeta (enlighten priests), sesuai naskah Plato. Dinasti Rama memiliki tujuh kota besar (Seven Rishi’s City) dengan ibukota Ayodhya dimana salah satu kota yang berhasil ditemukan adalah Mohenjo-Daroo. Persaingan dari kedua peradaban tersebut mencapai puncaknya dengan menggunakan senjata nuklir.

Para ahli menemukan bahwa pada puing-puing maupun sisa-sisa tengkorak manusia yang ditemukan di Mohenjo-Daroo mengandung residu radio-aktif yang hanya bisa dihasilkan lewat ledakan Thermonuklir skala besar. Dalam sebuah seloka mengenai Mahabharata, diceritakan dengan kiasan sebuah senjata penghancur massal yang akibatnya mirip sekali dengan senjata nuklir masa kini.

Beberapa Seloka dalam kitab Wedha dan Jain secara eksplisit dan lengkap menggambarkan bentuk dari ‘wahana terbang’ yang disebut ‘Vimana’ yang ciri-cirinya mirip piring terbang masa kini. Sebagian besar bukti tertulis justru berada di India dalam bentuk naskah sastra, sedangkan bukti fisik justru berada di belahan dunia barat yaitu Piramid di Mesir (Foto: relief jenis pesawat di Piramida Mesir di bawah ini) dan Amerika Selatan.
relief mesir
 relief jenis pesawat di Piramida Mesir










Dari hasil riset dan penelitian yang dilakukan ditepian sungai Gangga di India, para arkeolog menemukan banyak sekali sisa-sisa puing-puing yang telah menjadi batu hangus di atas hulu sungai. Batu yang besar-besar pada reruntuhan ini dilekatkan jadi satu, permukaannya menonjol dan cekung tidak merata. Jika ingin melebur bebatuan tersebut, dibutuhkan suhu paling rendah 1.800 °C. Bara api yang biasa tidak mampu mencapai suhu seperti ini, hanya pada ledakan nuklir baru bisa mencapai suhu yang demikian.

Di dalam hutan primitif di pedalaman India, orang-orang juga menemukan lebih banyak reruntuhan batu hangus. Tembok kota yang runtuh dikristalisasi, licin seperti kaca, lapisan luar perabot rumah tangga yang terbuat dari batuan didalam bangunan juga telah dikacalisasi. Selain di India, Babilon kuno, gurun sahara, dan guru Gobi di Mongolia juga telah ditemukan reruntuhan perang nuklir prasejarah. Batu kaca pada reruntuhan semuanya sama persis dengan batu kaca pada kawasan percobaan nuklir saat ini.

Bukti ilmiah peradaban Veda. Bukti-bukti arkeologis, geologis telah terungkap dari penemuan fosil-fosil maupun artefak- alat yang digunakan manusia pada masa itu telah terbukti menunjukkan bahwa peradaban manusia modern telah ada sekitar ratusan juta bahkan miliaran tahun yang lalu. Bukti-bukti tersebut diungkapkan oleh Michael Cremo, seorang arkeolog senior, peneliti dan juga penganut weda dari Amerika, dengan melakukan penelitian lebih dari 8 tahun.

Dari berbagai belahan dunia termasuk juga dari Indonesia telah dapat mengungkapkan misteri peradaban weda tersebut secara bermakna. Laporan tersebut ditulis dalam beberapa buku yang sudah diterbitkan seperti ; Forbidden Archeology, The Hidden History of Human Race, Human Devolution: A Vedic alternative to Darwin’s Theory, terbitan tahun 2003. Dalam buku tersebut akan banyak ditemukan fosil, artefak- peninggalan berupa kendi, alas kaki, alat masak dan sebagainya yang telah berusia ratusan juta tahun bahkan miliaran tahun, dibuat oleh manusia yang mempunyai peradaban maju, tidak mungkin dibuat oleh kera atau primata yang lebih rendah.

Dari buku-buku tersebut juga ditemukan adanya manipulasi beberapa arkeolog dengan mengubah dimensi waktunya, hal ini bertujuan untuk mendukung teori evolusi Darwin, karena kenyataannya teori evolusi masih sangat lemah. Bukti ilmiah sudah dengan jelas menyatakan bahwa peradaban weda telah ada miliaran tahun. Para ilmuwan telah membuktikan bahwa perang besar di tanah suci Kukrksetra, kota Dwaraka, sungai suci Sarasvati dan sebagainya merupakan suatu peristiwa sejarah, bukan sebagai mitologi. Setiap kali kongres para arkeolog dunia selalu menyampaikan bukti-bukti baru tentang peradaban Barthavarsa purba. Dibawah ini ditampilkan sekelumit dari bukti ilmiah tersebut.

Sebenarnya masih banyak bukti ilmiah lainnya yang menunjukkan peradaban weda tersebut, sehingga Satya yuga, Tretha yuga, Dvapara yuga dan Kali yuga dengan durasi sekitar 4.320.000 tahun merupakan suatu sejarah peradaban manusia modern yang memegang teguh perinsip dharma.

Perang Bharatayuda. Para arkeolog terkemuka dunia telah sepakat bahwa perang besar di Kuruksetra merupakan sejarah Bharatavarsa (sekarang India) yang terjadi sekitar 5000 tahun yang lalu. Sekarang para peneliti hanya ingin menentukan tanggal yang pasti tentang peristiwa tersebut. Dari hasil pengamatan beserta bukti-bukti ilmiah. Dari berbagai estimasi maka dibuatlah suatu usulan peristiwa-peristiwa sebagai berikut:

* Sri Krishna tiba di Hastinapura diprakirakan sekitar 28 September 3067 SM
* Bhishma pulang ke dunia rohani sekitar 17 Januari 3066 SM
* Balarama melakukan perjalanan suci di sungai Saraswati pada bulan Pushya 1 Nov. 1, 3067 SM
* Balarama kembali dari perjalanan tersebut pada bulan Sravana 12 Dec. 12, 3067 SM
* Gatotkaca terbunuh pada 2 Desember 3067 SM.

Dan banyak lagi penanggalan peristiwa-peristiwa penting sudah di kalkulasi.

* Kota kuno Dvaraka. Demikian juga keberadaan kota Dvaraka yang dulu menjadi misteri, kota tersebut disebutkan dalam Mahabharata bahwa Dvaraka tenggelam di pantai. Doktor Rao adalah seorang arkeolog senior yang dengan tekun menyelidiki dengan “marine archaeology” dan hasilnya ditemukannya reruntuhan kota bawah laut, beserta ornamennya, didaerah Gujarat. Dwaraka, kota kerajaan Sri Krishna masa lalu.

* Sungai Sarasvati. Keberadaan kota purba Harrapa dan Mohenjodaro serta keberadaan sungai suci Sarasvati telah dijumpai dalam Rig Weda, namun tidak diketahui keberadaannya, kemudian oleh NASA dengan pemotretan dari luar angkasa ternyata dijumpai sebuah lembah yang merupakan bekas sungai yang telah mengering, namun dalam kedalaman tertentu masih tampak ada aliran air di wilayah Pakistan yang bermuara ke lautan Arab, arahnya sesuai dengan yang digambarkan dalam sastra.

* Jembatan Alengka. Pemotretan luar angkasa yang dilakukan oleh NASA telah menemukan adanya jembatan mistrius yang menghubungkan Manand Island (Srilanka) dan Pamban Island (India) sepanjang 30 Km, dengan lebar sekitar 100 m, tampak pula jembatan tersebut buatan manusia dengan umur sekitar 1.750.000 tahun. Angka ini sesuai dengan sejarah Ramayana yang terjadi pada Tretha yuga. Sekarang sedang diteliti jenis bebatuannya. Jadi Ramayana itu adalah ithihasa (sejarah), bukan merupakan dongeng.

Gambar Legenda tentang Pembuatan Jembatan Sri Rama oleh para kera
mahabarata


Gambar Hasil pantauan NASA tentang Sri Rama Bridge atau Jembatan Sri Rama yang dibangun oleh para kera
Jembatan Sri Rama



Jembatan Sri Rama




Citra dari Rama Brige sendiri sangat mudah terlihat dari atas permukaan air laut karena letaknya yang tidak terlalu dalam, yaitu hanya tergenang sedalam kira-kira 1,2 meter (jika air laut sedang surut) dengan lebar hampir 100 m.
Tahun 1972 silam, ada sebuah penemuan luar biasa yang barangkali bisa semakin memperkuat dugaan bahwa memang benar peradaban masa silam telah mengalami era Nuklir yaitu penemuan tambang Reaktor Nuklir berusia dua miliyar tahun di Oklo, Republik Gabon.

Gambar Bukti Reaktor Nuklir Kuno di Oklo, Republik Gabon
oklo


nasa

jaman kuno


Pada tahun 1972, ada sebuah perusahaan (Perancis) yang mengimpor biji mineral uranium dari Oklo di Republik Gabon, Afrika untuk diolah. Mereka terkejut dengan penemuannya, karena biji uranium impor tersebut ternyata sudah pernah diolah dan dimanfaatkan sebelumnya serta kandungan uraniumnya dengan limbah reaktor nuklir hampir sama. Penemuan ini berhasil memikat para ilmuwan yang datang ke Oklo untuk suatu penelitian, dari hasil riset menunjukkan adanya sebuah reaktor nuklir berskala besar pada masa prasejarah, dengan kapasitas kurang lebih 500 ton biji uranium di enam wilayah, diduga dapat menghasilkan tenaga sebesar 100 ribu watt. Tambang reaktor nuklir tersebut terpelihara dengan baik, dengan lay-out yang masuk akal, dan telah beroperasi selama 500 ribu tahun lamanya.

Yang membuat orang lebih tercengang lagi ialah bahwa limbah penambangan reaktor nuklir yang dibatasi itu, tidak tersebarluas di dalam areal 40 meter di sekitar pertambangan. Kalau ditinjau dari teknik penataan reaksi nuklir yang ada, maka teknik penataan tambang reaktor itu jauh lebih hebat dari sekarang, yang sangat membuat malu ilmuwan sekarang ialah saat kita sedang pusing dalam menangani masalah limbah nuklir, manusia zaman prasejarah sudah tahu cara memanfaatkan topografi alami untuk menyimpan limbah nuklir!

Tambang uranium di Oklo itu kira-kira dibangun dua milyar tahun yang lalu setelah adanya bukti data geologi dan tidak lama setelah menjadi pertambangan maka dibangunlah sebuah reaktor nuklir ini. Mensikapi hasil riset ini maka para ilmuwan mengakui bahwa inilah sebuah reaktor nuklir kuno, yang telah mengubah buku pelajaran selama ini, serta memberikan pelajaran kepada kita tentang cara menangani limbah nuklir.

Sekaligus membuat ilmuwan mau tak mau harus mempelajari dengan serius kemungkinan eksistensi peradaban prasejarah itu, dengan kata lain bahwa reaktor nuklir ini merupakan produk masa peradaban umat manusia. Seperti diketahui, penguasaan teknologi atom oleh umat manusia baru dilakukan dalam kurun waktu beberapa puluh tahun saja, dengan adanya penemuan ini sekaligus menerangkan bahwa pada dua miliar tahun yang lampau sudah ada sebuah teknologi yang peradabannya melebihi kita sekarang ini, serta mengerti betul akan cara penggunaannya.

Semua temuan arkeologis ini sesuai dengan catatan sejarah yang turun-temurun. Kita bisa mengetahui bahwa manusia juga pernah mengembangkan peradaban tinggi di India pada 5.000 tahun silam, bahkan mengetahui cara menggunakan reaktor nuklir, namun oleh karena memperebutkan kekuasaan dan kekayaan serta menggunakan dengan sewenang-wenang, sehingga mereka mengalami kehancuran.

Singkatnya segala penyelidikan diatas berusaha menyatakan bahwa umat manusia pernah maju dalam peradaban Atlantis dan Rama. Bahkan jauh sebelum 4000 SM manusia pernah memasuki abad antariksa dan teknologi nuklir. Akan tetapi zaman keemasan tersebut berakhir akibat perang nuklir yang dahsyat hingga pada masa sesudahnya, manusia sempat kembali ke zaman primitif. Masa primitif ini berakhir dengan munculnya peradaban Sumeria sekitar 4000 SM atau 6000 tahun yang lalu.

Lagi-lagi perang dan haus kekuasaanlah yang mengakibatkan manusia menjadi terpuruk. Dan hal ini patut kita renungkan lebih seksama sebagai buah pelajaran bahwa mengapa manusia zaman prasejarah yang memiliki sebuah teknologi maju tidak bisa mewariskan teknologinya, malah hilang tanpa sebab, yang tersisa hanya setumpuk jejak saja. Lalu bagaimana kita menyikapi atas penemuan ini?

Saudaraku, sebagai manusia sekarang, jika kita abaikan terhadap semua peninggalan-peninggalan peradaban prasejarah ini, sudah barang tentu kita pun tidak akan mempelajarinya secara mendalam, apalagi menelusuri bahwa mengapa sampai tidak ada kesinambungannya, lebih-lebih untuk mengetahui penyebab dari musnahnya sebuah peradaban itu. Dan apakah perkembangan dari ilmu pengetahuan dan teknologi kita sekarang akan mengulang seperti peradaban beberapa kali sebelumnya? Betulkah penemuan ini, serta mengapa penemuan-penemuan peradaban prasejarah ini dengan teknologi manusia masa kini begitu mirip? Semua masalah ini patut kita renungkan dalam-dalam sebagai upaya tidak mengulangi kesalahan fatal yang pernah dilakukan.

»»  READMORE...

ANTARA BUDAYA JEPANG dan BUDAYA YAHUDI

Tahukah Anda, kalau budaya Jepang memiliki kemiripan dengan budaya Yahudi. Di bawah ini Kami paparkan sebagian kecil kemiripan antara tradisi kuno bangsa Jepang dengan tradisi kuno bangsa Yahudi atau Bani Israel yang berasal dari buku Pendeta Arimasa Kubo tersebut.



Ontohsai dan Kisah Ishaq

Salah satu kesamaan antara tradisi kuno bangsa Jepang dengan Yahudi terdapat dalam upacara tradisional. Ada sebuah festival atau upacara di Jepang yang mengilustrasikan kisah Ishaq. Di prefektur Nagano, Jepang, terdapat sebuah kuil besar Shinto bernama “Suwa-Taisha”. Shinto sendiri merupakan agama tradisional asli Jepang yang menyembah Amaterasu, Dewa Matahari, sama seperti bangsa Mesir kuno yang menyembah Dewa Ra, Dewa Matahari.
Setiap tanggal 15 April, di Suwa-Taisha diadakan festival tradisional bernama “Ontohsai”. Festival ini menggambarkan kisah Ishaq seperti yang terdapat dalam Bab 22 Kitab Kejadian (Genesis), yaitu kisah mengenai Ibrahim yang hendak mengorbankan putranya sendiri, Ishaq. Festival “Ontohsai” ini diselenggarakan sejak zaman dahulu kala dan dianggap sebagai festival terpenting di “Suwa-Taisha”.
Di sebelah kuil “Suwa-Taisha”, ada sebuah gunung bernama Gunung Moriya (dalam bahasa Jepang disebut “Moriya-san”). Penduduk di wilayah Suwa memanggil dewa Gunung Moriya dengan sebutan “Moriya no kami”, yang berarti “dewa Moriya”. Pada festival tersebut, seorang anak laki-laki diikatkan dengan tali pada sebuah pilar kayu, lalu ditempatkan di atas tikar bambu. Seorang pendeta Shinto menghampiri sang anak sambil menyiapkan sebilah pisau. Sebelum pisau itu diayunkan, tiba-tiba datang seorang pembawa pesan yang kemudian membebaskan anak lelaki itu dari ritual korban. Hal ini tentu saja mengingatkan kita pada kisah ketika Ishaq dibebaskan setelah malaikat datang pada Ibrahim.
Ritual serupa juga terdapat dalam tradisi umat Islam yang dikenal dengan Iedul Adha, hanya dalam Islam yang akan dikorbankan oleh nabi Ibrahim adalah Ismail bukan Ishaq seperti pemahaman umat kristiani. Hanya saja, di Jepang, pada festival ini yang dikorbankan adalah 75 ekor rusa, yang satu di antaranya diyakini cacat kupingnya. Rusa ini dipercaya telah dipersiapkan oleh tuhan. Hal ini mungkin ada kaitannya dengan biri-biri jantan yang dipersiapkan tuhan dan kemudian dikorbankan setelah Ishaq bebas. Namun di zaman dahulu, penduduk berpikir bahwa kebiasaan pengorbanan rusa ini adalah hal yang aneh, sebab pengorbanan binatang bukanlah sebuah tradisi Shintoisme.
Penduduk menyebut festival ini sebagai “festival untuk dewa Misakuchi”. “Misakuchi” mungkin berasal dari “mi-isaku-chi”. “Mi” berarti “besar”, “isaku” mungkin saja “Ishaq” (dalam bahasa Hebrew adalah “Yitzhak”), dan “chi” adalah sesuatu (semacam partikel-pen) yang dipakai untuk akhir suatu kata. Tampaknya penduduk Suwa menjadikan Ishaq sebagai dewa, mungkin karena pengaruh dari para kaum pagan.
Kini upacara pengorbanan anak laki-laki dan pembebasannya tersebut tak lagi dipraktekkan, tapi kita di sana masih bisa melihat pilar kayu yang disebut “oniye-basira” yang berarti “pilar pengorbanan” (sacrifice-pillar). Kini penduduk menggunakan hewan tiruan sebagai pengganti bintang asli dalam melaksanakan pengorbanan. Bagi rakyat di zaman Meiji, lebih kurang satu abad silam, mengikat seorang anak laki-laki yang diikuti dengan pengorbanan binatang dianggap sebagai perbuatan biadab, dan kebiasaan tersebut dihentikan. Tapi festival itu sendiri hingga hari itu masih berlangsung.
Upacara pengorbanan anak laki-laki tersebut dipertahankan hingga permulaan zaman Meiji. Masumi Sugae, seorang terpelajar Jepang dan pencatat perjalanan yang hidup di zaman Edo, lebih kurang dua abad silam, menuliskan catatan perjalanannya dan mencatat apa yang ia lihat di Suwa.
Catatan ini memperlihatkan keterangan detail mengenai “Ontohsai”. Catatan ini mengatakan bahwa upacara pengorbanan anak laki-laki dan pembebasannya tersebut, serta pengorbanan binatang, masih berlangsung pada zaman Sugae. Catatan Sugae ini tersimpan di museum dekat Suwa-Taisha.
Festival ini dipertahankan oleh keluarga Moriya sejak zaman dahulu kala. Keluarga Moriya berpikir bahwa “Moriya-no-kami” (dewa Moriya) adalah dewa leluhur mereka. Dan mereka berpikir bahwa “Gunung Moriya” adalah tempat suci mereka. Nama “Moriya” mungkin berasal dari “Moriah” (dalam bahasa Hebrew adalah “Moriyyah”) yang juga terdapat dalam Injil kitab Kejadian 22: 2. Keluarga Moriya menyelenggarakan festival tersebut selama 78 generasi.


Fleur du Herod



Jika kita mendatangi Imperial House of Japan, di bagian atas akan kita jumpai simbol bunga matahari dengan 16 daun bunga. Simbol bunga ini sama persis dengan simbol bunga matahari yang ada di depan Kuil Herod, gerbang Yerusalem.  Kedua hiasan ini telah ada sejak zaman yang sangat lampau, baik yang ada di Jepang maupun yang ada di Herod.

Simbol Bintang David sebagai simbol kuno bangsa Yahudi juga bertebaran di Ise-jingu, kuil Shinto untuk Imperial House of Japan. Ise-jingu di prefektur Mie, Jepang, merupakan sebuah kuil Shinto yang dibangun untuk Imperial House of Japan. Pada kedua sisi jalan menuju kuil tersebut terdapat lampu-lampu yang terbuat dari batu. Di setiap lampu terdapat ukiran bintang david, dekat bagian puncaknya. Hiasan  yang digunakan di bagian dala m kuil di Ise-jingu juga bintang david. Ini telah ada sejak zaman kuno. Di prefektur Kyoto, ada kuil “Manai-Jinja”, sebuah Kuil Ise-jingu asli. Bentuk bintang david juga berserak di kuil ini. Sinagog-sinagog bangsa Yahudi yang tersebar di Eropa sejak zaman dulu juga mengukir hiasannya dengan bentuk bintang david, sama seperti yang ada di Jepang.

 

Yamabusi dan Phylactery

Para pemimpin religi Jepang disebut “Yamabushi”. Dalam pakaian kebesarannya, mereka lazim  meletakkan sebuah kotak hitam pada dahi mereka. Ini sama dengan kaum Yahudi yang meletakkan Phylactery (kotak kecil berbahan kulit yang memuat teks-teks Ibrani) juga di dahi. Yamabushi adalah pemimpin keagamaan yang sedang dalam masa latihan dan hanya ada di Jepang. Mereka kini dianggap sebagai bagian dari Budhisme Jepang, namun anehnya Budhisme di Cina, Korea, atau India, tidak memiliki kebiasaan ini. Kebiasaan “Yamabushi” telah ada di Jepang sebelum Budhisme masuk ke Jepang pada abad ke-7.
Pakaian yang dikenakan “Yamabushi” pada dasarnya berwarna putih. Di dahinya, mereka meletakkan sebuah boks kecil berwarna hitam yang disebut “tokin”, yang diikatkan ke kepalanya dengan tali hitam. Mereka benar-benar menyerupai Yahudi yang meletakkan phylactery (kotak hitam) di dahi dengan menggunakan tali hitam. Ukuran “tokin” ini hampir sama dengan ukuran phylactery milik kaum Yahudi. Tapi “tokin” berbentuk bundar dan terlihat seperti bunga. Hanya ada dua bangsa di dunia ini yang meletakkan sebuah kotak di dahi, yakni Israel dan Jepang.
Shofar, terompet Yahudi
Selain mengenakan kotak di dahi, Yamabusi juga biasa menggunakan kerang laut berukuran besar berbentuk mirip dengan tanduk yang digunakan dengan cara ditiup untuk ritual-ritual keagamaan. Hal ini sangat mirip dengan kaum Yahudi yang meniup shofar, tanduk biri-biri jantan. Suara yang dihasilkan Yamabusi serupa dengan suara shofar. Bisa jadi, karena di Jepang tidak ada biri-biri, maka mereka menggunakan kerang berukuran besar.
Keyakinan lain dari Yamabusi adalah menganggap gunung sebagai tempat suci mereka. Ini sama dengan kepercayaan bangsa Yahudi yang menganggap gunung juga tempat suci mereka. Sepuluh Perintah Tuhan (Taurat) diturunkan di Gunung Sinai dan Yerusalem juga adalah kota yang berada di atas gunung.

 

Torah dan Tora-No-Maki

Di Jepang ada legenda mengenai “tengu”. Dia tinggal di gunung dan memiliki bentuk tubuh yang sama dengan “Yamabushi”. Ia memiliki kemampuan supernatural. Ninja atau mata-mata di zaman kuno yang bekerja untuk tuannya, sering mendatangi “tengu” di gunung untuk mendapatkan kemampuan supernatural darinya. Setelah memberikan kekuatan, “Tengu” memberi “Ninja” sebuah “tora-no-maki” (gulungan “tora”). “Gulungan tora” ini dianggap sebagai “kitab suci” yang berguna dalam setiap masalah. Sampai sekarang orang Jepang masih menggunakan kitab ini dalam keseharian. Tota-No-Maki amat mirip dengan nama “Torah” atau Taurat.


Omikoshi dan Tabut Perjanjian

Omikoshi di Jepang juga mirip dengan Ark of the Covenant (Tabut Perjanjian). Dalam Bibel, tertulis bahwa Daud atau David membawa tabut perjanjian dari Tuhan ke Yerusalem. “David dan para sesepuh Israel serta para komandan unit yang berjumlah ribuan pergi membawa tabut perjanjian TUHAN dari rumah Obed-Edom, dengan penuh kegembiraan. …Lalu David yang berpakaian jubah yang terbuat dari linen halus—begitu pula para Levites yang sedang membawa tabut, serta para penyanyi, dan Keniah, yang bertugas menyanyikan paduan suara. David juga mengenakan ephod dari linen. Jadi semua Israel membawa tabut perjanjian TUHAN sambil bersorak-sorai, dengan membunyikan tanduk biri-biri jantan dan terompet, dan simbal, serta memainkan lyre (instrumen bersenar yang berbentuk U, digunakan di zaman kuno-pen) dan harpa.” (15: 25-28)
Coba bandingkan dengan Omikoshi di Jepang. Ketika orang-orang Jepang mengangkut ‘Omikoshi’ yang bentuknya juga mirip dengan Tabut Perjanjian di saat festival, orang-orang Jepang juga bernyanyi dan menari di depannya, juga sambil bersorak-sorai, dengan memainkan alat-alat musik tradisional musik. Bukankah semua ini juga mirip dengan tradisi bangsa Yahudi?
Orang-orang Jepang mengangkut Omikoshi di atas pundak mereka dengan tiang – biasanya dua tiang. Begitu pula halnya dengan bangsa Yahudi, “Para Levites mengangkut tabut Tuhan dengan tiang di pundak mereka, seperti yang diperintahkan Musa berdasarkan firman TUHAN.” (Kejadian 1 15:15).

Tabut perjanjian Israel memiliki dua tiang (Eksodus 25: 10-15). Bibel juga mengatakan bahwa tiang-tiang tersebut diikatkan pada tabut oleh empat cincin “pada keempat kakinya” (Eksodus 25:12). Jadi tiang-tiang tersebut dilekatkan pada dasar tabut. Ini sama dengan Omikoshi.
Tabut Israel memiliki dua patung cherubim (malaikat urutan kedua pada hirarki surga) berbahan emas pada bagian puncaknya. Cherubim, mahluk surga atau malaikat bersayap seperti burung. Dan Omikoshi juga memiliki burung emas, yang disebut “Ho-oh”, pada bagian puncaknya, yang merupakan burung khayalan dan makhluk surga yang misterius. Tabut bangsa Yahudi seluruhnya dilapisi emas, sama dengan Omikoshi. Ukuranya juga sama, demikian pula tarian yang mengiringinya.

Dalam festival “Gion-jinja” di kuil Shinto di Kyoto, orang-orang mengangkut Omikoshi lalu masuk ke dalam air dan menyeberangi sungai. Bukankah ini mirip dengan tradis Yahudi yang mengangkut tabut ketika menyeberangi sungai Jordan setelah melakukan eksodus dari Mesir? Di sebuah pulau di Laut Inland, Seto, Jepang, orang-orang terpilih sebagai pengangkut Omikoshi tinggal bersama di sebuah rumah selama satu minggu sebelum mereka bekerja. Ini untuk mencegah pencemaran pada diri mereka. Selanjutnya, pada hari sebelum mengangkut Omikoshi, mereka mandi dalam air laut untuk menyucikan diri. Ini sama dengan kebiasaan Yahudi, “Demikianlah para pendeta dan Levites menyucikan diri mereka untuk membawa tabut Tuhan Israel.” (Kejadian 1 15:14)
Bibel mengatakan bahwa setelah tabut memasuki Yerusalem dan barisan berhenti; “David membagikan sepotong roti, sepotong daging, dan sepotong kue kismis, kepada setiap orang Israel, baik laki-laki maupun perempuan” (Kejadian 1 16:3). Ini sama dengan kebiasaan di Jepang. Di Jepang, setelah festival selesai, gula-gula dibagikan kepada setiap orang.


Garam

Orang Jepang memiliki kebiasaan menggunakan garam untuk ritual penyucian. Penduduk terkadang menaburkan garam setelah orang jahat beranjak pergi. Tradisi ini serupa dengan Israel kuno. Alkisah, setelah Abimelech merebut kota musuh, “ia menaburinya dengan garam” (Para Hakim 9:45). Orang Jepang dapat cepat memahami bahwa ini sama artinya dengan membersihkan dan menyucikan kota.
Ketika orang Yahudi menempati rumah baru, mereka menaburinya dengan garam untuk menyucikan dan membersihkannya. Ini sama dengan orang Jepang. Di restoran khas Jepang, garam biasanya diletakkan di dekat pintu masuk. Orang Jepang juga meletakkan garam di pintu masuk pemakaman. Setelah kembali dari pemakaman, seseorang harus menaburkan garam kepada seseorang yang lain sebelum ia (orang yang ditaburi garam) memasuki rumahnya, karena dalam agama Shinto terdapat anggapan bahwa semua orang yang pergi ke pemakaman atau menyentuh mayat menjadi tidak bersih. Demikian pula dengan bangsa Yahudi.

Sumo atau pegulat tradisional Jepang biasa menaburi ringnya dengan garam sebelum mereka bertarung. Sumo dalam kepercayaan Jeang merupakan satu persembahan. Ini serupa dengan kebiasaan yang dilakukan bangsa Yahudi sebagaimana Bibel mengatakan, “Saat kau melakukan persembahan, kau harus mempersembahkan garam” (Leviticus 2:13). Tradisi kuo Jepang biasa memasukkan garam ke air saat mandi pertama bayi. Demikian pula dengan orang Yahudi yang lazim membasuh bayi yang baru lahir dengan air setelah menggosok sang bayi dengan garam secara lembut (Ezekiel 16:4). Penyucian dan pembersihan dengan menggunakan garam merupakan kebiasaan umum yang terdapat dalam tradisi Jepang dan Yahudi.


Jubah pendeta Jepang Sama Dengan Jubah Pendeta Yahudi

Bibel mengatakan bahwa ketika David membawa tabut ke Yerusalem; “David berpakaian jubah yang terbuat dari linen halus” (Kejadian 1 15:27). Begitu pula dengan para pendeta dan paduan suara. Dalam Bibel berbahasa Jepang, ayat ini diterjemahkan menjadi “jubah dari linen putih”.
Pada masyarakat Israel kuno, meski pendeta tinggi mengenakan jubah berwarna, para pendetanya atau Rabi umumnya mengenakan linen putih. Para pendeta mengenakan pakaian berwarna putih pada acara-acara suci. Begitu pula dengan para pendeta Jepang, mengenakan jubah putih di setiap acara suci.

Di Ise-jingu, salah satu kuil tertua di Jepang, semua pendeta mengenakan jubah putih. Dan di banyak kuil Shinto lainnya di Jepang, orang-orang mengenakan jubah putih saat mengangkut “Omikoshi”, persis seperti yang dilakukan Yahudi. Para pendeta Budha mengenakan jubah berwarna yang mewah. Tapi dalam agama Shinto Jepang, putih dianggap sebagai warna paling suci.
Salah satu contoh dilakukan Kaisar Jepang. Setelah ia menyelesaikan upacara kenaikan tahta, dia harus datang sendirian ke hadapan dewa Shinto. Saat pergi ke sana, ia mengenakan jubah berwarna putih polos di seluruh tubuhnya. Sementara kakinya tidak mengenakan apa-apa. Hal ini sama dengan ketika Musa dan Joshua melepas alas kaki mereka di hadapan Tuhan (Eksodus 3:5, Joshua 5:15).
Marvin Tokayer, seorang rabi yang tinggal di Jepang selama 10 tahun, menulis dalam bukunya: “Jubah linen yang dikenakan oleh pendeta Shinto Jepang memiliki bentuk yang sama dengan jubah linen putih pada para pendeta Israel kuno.”

Selain itu, jubah para pendeta Shinto Jepang memiliki tali sepanjang 20-30 cm (sekitar 10 inchi) yang menggantung dari sudut jubah. Keberadaan bagian yang menjuntai ini (fringe/jumbai) merupakan kebiasaan orang-orang Israel. Deuteronomy 22:12 mengatakan: “Buatlah menggantung di sudut pakaian mereka sepanjang generasi.”

Jumbai ini merupakan sebuah tanda bahwa seseorang adalah kaum Yahudi. Dalam ajaran Perjanjian Baru, juga tertulis bahwa para Farisi (anggota sekte Yahudi kuno) “memanjangkan jumbai pada pakaian mereka” (Matius 23:5). Seorang wanita yang sedang mengalami pendarahan datang pada Yesus (Yeshua) dan menyentuh “jumbai pada mantel-Nya” (Matius 9:20). Pakaian Yahudi kuno kadang kala tidak memiliki jumbai. Namun jubah mereka benar-benar memiliki jumbai. Menurut tradisi, Tallit Yahudi (syal untuk beribadah), yang dipakai oleh Yahudi ketika berdoa, memiliki jumbai pada sudut-sudutnya.

Pendeta Shinto Jepang memasangkan kain berbentuk persegi pada jubah mereka, dari bahu hingga paha. Ini sama dengan ephod yang dipakai oleh David: “David juga mengenakan ephod dari linen.” (Kejadian 1 15:27)

Meskipun ephod yang dikenakan pendeta tinggi dipenuhi warna dengan adanya permata, pendeta biasa, yang tingkatnya berada di bawahnya, mengenakan ephod dari kain linen putih yang sederhana (Samuel 1 22:18). Rabbi Tokayer mengatakan bahwa kain persegi yang menempel pada jubah pendeta Shinto Jepang terlihat sangat mirip dengan ephod Kohen, pendeta Yahudi.

Pendeta Shinto Jepang meletakkan topi di kepalanya, persis seperti yang dilakukan pendeta Yahudi (Eksodus 29:40). Pendeta Jepang juga memasang ikat/selempang di pinggangnya. Begitu pula halnya dengan pendeta Israel. Pakaian para pendeta Shinto Jepang pasti merupakan pakaian yang digunakan oleh Israel kuno.


Melambaikan hasil panen juga merupakan kebiasaan di Jepang

Orang-orang Yahudi melambaikan hasil panen mereka, berupa tumpukan padi, 7 minggu sebelum Shavuot (Pentecost, Leviticus 23:10-11). Mereka juga melakukannya pada saat Feast of Booths (Sukkot, Leviticus 23:40). Ini telah menjadi tradisi sejak masa Musa. Pendeta Israel kuno juga melambaikan sebuah ranting tanaman ketika melakukan penyucian terhadap seseorang. David mengatakan, “Bersihkan diriku dengan hyssop (herbal aromatik berupa semak kecil, dulu sering dipakai untuk pengobatan-pen), dan aku akan menjadi bersih” [Mazmur 51:7(9)]. Ini juga merupakan adat-istiadat tradisional Jepang.
Ketika pendeta Jepang melakukan penyucian terhadap seseorang atau sesuatu, ia melambaikan sebuah ranting tanaman. Atau melambaikan “harainusa”, yang sangat serupa dengan ranting tanaman. “Harainusa” di masa sekarang lebih sederhana dan terbuat dari kertas putih yang dilipat membentuk zig-zag seperti petir kecil, namun di zaman dahulu “harainusa” adalah sebuah ranting tanaman atau rumput.


Struktur kuil Shinto Jepang sama dengan tempat ibadat (God’s Tabernacle) Yahudi

Bagian dalam tempat ibadat Israel kuno terbagi menjadi 2 bagian. Yang pertama adalah Holy Place, dan yang kedua adalah Holy of Holies. Begitu pun halnya dengan kuil Shinto Jepang, terbagi menjadi 2 bagian.
Fungsi-fungsi yang terdapat pada kuil Jepang serupa dengan tempat ibadat Israel. Orang-orang Jepang beribadat di depan Holy Place yang ada di kuil. Mereka tidak dapat memasuki Holy Place. Hanya pendeta Shinto yang boleh masuk. Pendeta Shinto memasuki Holy of Holies hanya pada saat-saat tertentu. Ini sama halnya dengan tempat ibadat Israel.

Holy of Holies di kuil Shinto Jepang terletak di sebelah barat, persis seperti Holy of Holies pada tempat ibadat Israel. Holy of Holies Shinto juga berada satu tingkat lebih tinggi daripada Holy Place, di antara Holy of Holies dan Holy Place terdapat anak tangga. Para ilmuwan mengatakan bahwa, dalam kuil Israel yang dibangun oleh Solomon, Holy of Holies juga berada pada tingkat yang lebih tinggi, dan di antara Holy of Holies dan Holy Place terdapat anak tangga selebar 2,7 meter (9 kaki).
Di bagian depan kuil Jepang terdapat 2 patung singa, disebut “komainu”, yang berdiri di kedua sisi jalan. Kedua patung tersebut bukanlah berhala, tapi penjaga kuil. Hal ini pun merupakan salah satu kebiasaan Israel kuno. Di kuil Tuhan Israel dan istana Solomon, terdapat patung-patung atau relief-relief singa (Raja-raja 1 7:36, 10:19).

Dalam sejarah awal Jepang, tak pernah ada penggunaan singa. Tapi patung singa tersebut telah diletakkan di kuil-kuil Jepang sejak zaman kuno. Hal ini dibuktikan oleh para ilmuwan bahwa patung singa yang ada di bagian depan kuil-kuil Jepang berasal dari Timur Tengah.
Dekat pintu masuk kuil Jepang, terdapat “temizuya”, yaitu tempat bagi para penyembah untuk mencuci tangan dan mulut. Ini sama dengan yang ditemukan pada sinagog Yahudi. Tempat ibadat dan kuil Israel kuno juga memiliki laver, untuk mencuci dan bersuci, dekat pintu masuk.
Di bagian depan kuil Jepang, terdapat gerbang, yang disebut “torii”. Gerbang dengan model seperti ini tidak ada di China atau Korea, ini khas Jepang. Gerbang “torii” terdiri dari 2 pilar vertikal dan sebuah palang yang menghubungkan bagian atas pilar. Tapi bentuk yang paling kuno hanya terdiri dari 2 pilar dan sebuah tali yang menghubungkan pilar. Ketika seorang pendeta Shinto menunduk pada gerbang, ia menunduk kepada 2 pilar tersebut secara terpisah. Maka diasumsikan bahwa gerbang “torii” tersebut pada awalnya hanya terdiri dari dua pilar.

Pada kuil Israel, terdapat 2 pilar yang digunakan sebagai gerbang (Raja-raja 1 7:21). Dan dalam bahasa Aramaik, yang digunakan oleh Israel kuno, kata gerbang adalah “taraa”. Kata ini mungkin berubah sedikit dan menjadi kata Jepang, “torii”. Beberapa “torii”, terutama pada kuil tua, bercat merah. Saya menduga bahwa ini merupakan gambaran mengenai 2 pos pintu, termasuk kayu horizontalnya, yang terkena darah anak biri-biri pada malam sebelum eksodus Israel dari Mesir.
Dalam agama Shinto Jepang, ada sebuah kebiasaan melingkupi/mengelilingi tempat suci dengan sebuah tali yang disebut “shimenawa”, yang mana tali ini memiliki sarung (terbuat dari kertas putih) yang dimasukkan sepanjang tali. Tali “shimenawa” ini dipasang sebagai pembatas. Bibel mengatakan bahwa saat Musa memberikan en Commandment dari Tuhan, di Gunung Sinai, ia “memasang pembatas” (Eksodus 19:12) di sekeliling gunung supaya kaum Israel tidak mendekatinya. Meski saya tidak tahu apa yang digunakan sebagai “pembatas” tersebut, pasti ada tali atau yang lain yang dipasang sebagai pembatas. Jika demikian, maka tali “shimenawa” Jepang mungkin merupakan satu kebiasaan yang berasal dari zaman Musa.

Satu-satunya perbedaan besar antara kuil Jepang dan kuil Israel kuno adalah bahwa kuil Jepang (Shinto) tidak memiliki altar pembakaran untuk pengorbanan hewan. Sebelumnya saya penasaran mengapa agama Shinto tak memiliki kebiasaan mengorbankan hewan, jika benar bahwa Shinto berasal dari agama Israel kuno. Tapi kemudian saya menemukan jawabannya dalam Deuteronomy chapter 12. Musa memerintahkan kaumnya untuk tidak melakukan pengorbanan hewan di tempat lain selain tempat khusus di Kanaan (12:10-14). Jadi, jika Israel datang ke Jepang kuno, mereka tidak diperbolehkan melakukan pengobanan hewan.


Banyak kebiasaan Jepang yang menyerupai kebiasaan orang Yahudi

Saat orang-orang Jepang beribadat di depan Holy Place di kuil Shinto, mereka pertama-tama membunyikan bel emas yang tergantung di pusat pintu masuk. Ini adalah kebiasaan Israel kuno. Pendeta tinggi, Aaron, meletakkan “bel emas” di keliman (batas pakaian dimana pinggirnya dilipat dan dijahit) jubahnya. Sehingga dengan demikian suara bel dapat terdengar dan sang pendeta takkan mati ketika melakukan pelayanan di sana (Eksodus 28:33-35).

Orang-orang Jepang bertepuk tangan 2 kali ketika beribadat di depan Holy Place. Ini, di masa Israel kuno, merupakan kebiasaan yang memiliki arti bahwa “I keep promises” (saya berjanji). Dalam Injil, Anda dapat menemukan kata yang diterjemahkan sebagai “pledge” (janji). Pengertian aslinya dalam bahasa Hebrew adalah “clap his hand” (menepukkan kedua tangannya/bertepuk tangan) (Ezekiel 17:18, Amsal Sulaiman 6:1). Tampaknya orang-orang Israel kuno selalu melakukan tepuk tangan ketika berjanji atau ketika melakukan sesuatu yang penting.

Berbagai tradisi Jepang kuno banyak memiliki kesamaan dengan tradisi dan kepercayaan bangsa Yahudi. Hal ini membuat banyak ahli sejarah meyakini jika nenek moyang bangsa Jepang merupakan salah satu suku Yahudi kuno yang mengembara dari Timur Tengah ke wilayah yang sekarang disebut sebagai Jepang. Sebab itulah, dalam alam bawah sadar masyarakat Jepang terdapat banyak sekali keyakinan Yahudi kuno yang menyembah dewa-dewi yang berasal dari Mesir Kuno. Salah satunya tergambarkan dalam permainan kartu bernama Yu-Gi-Oh!. (eramuslim/mugiwara no nakama)
»»  READMORE...

Rabu, 08 Oktober 2014

Kesaksian Taurat & Injil Tentang Rasulullah


Kesaksian Taurat & Injil Tentang Rasulullah
Padang pasir Sahara kering kerontang. Sejauh mata memandang cuma lautan pasir tandus berbatu-batu, hanya satu-dua pohon kurma berdebu. Terik matahari membakar tubuh. Peluh yang berlelehan segera kering, lenyap menguap. Angin kering yang bertiup menambah rasa haus. Senyap. Sudah berhari-hari kafilah itu menempuh perjalanan yang meletihkan. Tapi, remaja kecil dalam rombongan kafilah tersebut tetap saja tangkas dan riang. Tak tampak rasa letih di wajahnya.
Lebih-lebih ketika kafilah dagang pimpinan Abu Thalib itu sampai di perbatasan dekat Bashra, antara Jazirah Arab dan Syam. Entah mengapa, anak kecil itu kelihatan sangat bahagia. Agaknya ada sesuatu yang menunggunya, yang bakal memantapkan martabatnya di masa depan, karena itu sangat berharga bagi masa depannya. Anak itu tiada lain adalah Muhammad (Shallallhu ‘alaihi wasallam), yang kala itu berusia 12 tahun.
Siang itu, Abu Thalib memutuskan untuk beristirahat dan berkemah di luar Bashra. Maka segenap anggota rombongan pun menambatkan tali pengikat unta dan menurunkan semua beban, baik barang dagangan maupun bekal makanan. Abu Thalib duduk di sebuah batu, bersandar di sepokok pohon kurma, ditemani si kecil Muhammad(Shallallhu ‘alaihi wasallam), kemenakannya. Belum lama mereka beristirahat meluruskan kaki, seorang laki-laki mendatangi mereka. Dari pakaiannya, tampaknya ia seorang pendeta Nasrani. Sejak tadi ia memang memperhatikan dan mengawasi kemenakan Abu Thalib tersebut.
Tanpa ditanya, pendeta tua berjenggot dan berjubah lusuh itu memperkenalkan diri, “Nama saya Buhaira, saya pengikut ajaran Isa Almasih. Apakah betul anak ini bernama Yang Terpuji?”
Abu Thalib yang ternganga keheranan, mengangguk. “Dari mana Tuan tahu namanya? Namanya Muhammad, artinya memang Yang Terpuji,” katanya keheranan.
“Bukankah ada tanda semacam cap di punggungnya?” tanya pendeta itu lagi seperti penasaran. Sekali lagi Abu Thalib mengangguk, dan sekali lagi ia tercengang.
“Bukankah dia dilahirkan dalam keadaan yatim, kemudian ibunya juga meninggal dunia?” tanya pendeta itu lagi.
“Betul,” jawab Abu Thalib kebingungan.
Akhirnya dengan tenang pendeta Buhaira berkata, “Kalau demikian halnya, jagalah dia baik-baik. Sebaiknya Tuan jangan terlalu lama berada di negeri Syam. Sebab, namanya sudah dijelaskan dalam kitab suci kaum Yahudi, Taurat. Jika mengetahui siapa kemenakanmu yang sebenarnya, mereka pasti akan menyakiti dan membunuhnya.”

Bukan Fiksi
Tentu saja Abu Thalib sangat cemas. Namun, Buhaira malah tersenyum bahagia sambil berkata, “Dari wajahnya, saya yakin, dialah yang namanya sudah dijelaskan dalam kitab Injil. Ia datang dari Jazirah Arab, berarti ia keturunan Nabi Ismail‘Alaihissalam.”
Melihat Abu Thalib terpana tak percaya, Buhaira berusaha meyakinkan, “Tuan, saya percaya, semua yang termaktub dalam Kitab Suci tertuju kepada kemenakan Tuan ini, yang bernama Yang Terpuji.”
Ini bukanlah fiksi, melainkan fakta sejarah yang menjelaskan bahwa, sebelum Nabi Muhammad Shallallhu ‘alaihi wasallam diangkat sebagai rasul oleh Allah Ta’ala, kaum Yahudi dan Nasrani sedang menunggu-nunggu kedatangannya. Banyak rahib Yahudi dan pendeta Nasrani, bahkan raja-raja, mengakui dan bersaksi bahwa Muhammad, Yang Terpuji, adalah sosok yang dijanjikan Allah Ta’ala sebagaimana dijelaskan dalam Taurat dan Injil. Namanya disebut dalam kitab kaum Yahudi dan Nasrani itu dalam bahasa Ibrani maupun Yunani, yang semuanya berarti “yang terpuji”.
Misalnya dalam kitab Ulangan (pasal 18, ayat 17-22), Nabi Musa bersabda, “Maka pada masa itu berfirmanlah Allah kepadaku, ‘Benarlah kata mereka, Bani Israil itu, bahwa Aku, Allah, akan menjadikan bagi mereka seorang nabi dari antara segala saudaranya, yakni dari Bani Ismail, yang seperti engkau, hai Musa. Dan Aku akan memberi segala firman-Ku dalam mulutnya, dan dia pun akan mengatakan kepadanya segala yang Aku suruh’.”
 Berita mengenai bakal datangnya nabi baru yang dijanjikan oleh Allah Ta’ala itu antara lain sudah disebutkan dalam kita-kitab suci terdahulu, misalnya dalam Injil Yahya (Perjanjian Baru) pasal 14, ayat 16-17, yang menyebut-nyebut perihal “Roh Kebenaran”, yang dalam bahasa Yunani disebut Paraclet atau Para-Cletos atau Paracletos, yang bermakna Yang Terpuji. Dan dalam bahasa Arab, Muhammad memang berarti Yang Terpuji (lihat: Paracletos, Siapa Dia?).
Sekitar 30 tahun kemudian, ketika Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam berusia 40 tahun, dan menerima wahyu pertama surah Al-‘Alaq di Gua Hira, kenabiannya pun diakui dan diimani oleh Waraqah bin Naufal, pendeta Nasrani yang juga paman Khadijah, istri Nabi. Menurut Waraqah, ketika itu Muhammad telah menerima “Namus Besar” sebagaimana yang juga pernah diterima oleh Musa. Oleh karena itu dia adalah utusan Allah.
Menurut para sejarawan, “Namus Besar” dimaknai sebagai Malaikat Jibril. Sementara menurut orientalis Montgomery Watt, kata namus diambil dari bahasa Yunani noms, yang berarti “undang-undang” atau kitab suci yang diwahyukan.
Turunnya wahyu pertama kepada Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam yang ummi (buta huruf) yang diawali dengan kalimat Iqra bismi rabbikal ladzi khalaq (Bacalah dengan asma Tuhanmu yang menciptakan) itu jauh sebelumnya sudah disebut dalam Injil Yesaya (pasal 29:12), “Dan kitab itu diberikan kepada seorang yang tiada tahu membaca dengan mengatakan, ‘Bacalah ini,’ maka ia akan menjawab, ‘Aku tiada dapat membaca’.”
Ayat tersebut persis sama dengan kejadian di Gua Hira ketika Malaikat Jibril menyuruh Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam membaca, “Bacalah!”, dan Rasulullah, yang ummi, menjawab dengan gemetar, “Ma ana bi qari! (Aku tidak dapat membaca!).” Setelah dialog singkat itu berlangsung tiga kali, Jibril pun menyampaikan wahyu Allah SWT yang pertama, sebagaimana tertulis dalam Al-Quran surah Al-‘Alaq.
Bukan hanya rahib Yahudi dan pendeta Nasrani, ada pula para raja yang mengetahui (secara samar-samar) kedatangan seorang nabi akhir zaman. Seorang di antaranya adalah Raja Najasyi dari Habasyah alias Negus (kini Ethiopia). Setelah mendengar penjelasan Ja’far bin Abu Thalib, sepupu RasulullahShallallhu ‘alaihi wasallam, mengenai ajaran Muhammad, sang raja, yang tadinya Nasrani taat itu, pun akhirnya mengakui kenabian RasulullahShallallhu ‘alaihi wasallam.
Kisahnya, pada tahun ke-7 Hijriah, Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam mengirim surat kepada Raja Najasyi, mengajak memeluk Islam. Ketika menerima surat itu, sang raja berkata, “Aku bersaksi, sesungguhnya dialah (Muhammad) nabi yang ditunggu-tunggu Ahli Kitab.” Lalu ia menulis surat jawaban, “Saya mengakui bahwa Tuan adalah utusan Allah yang benar dan dibenarkan. Sesungguhnya saya telah berbai’at kepada Tuan dan telah berbai’at kepada sepupu Tuan. Dan saya telah memeluk Islam di hadapannya karena Allah, Tuhan semesta alam.”
Surat bernada sama dikirimkan oleh Nabi Muhammad Shallallhu ‘alaihi wasallam kepada Muqauqis, gubernur Mesir, pemeluk Nasrani Qibti. Dalam surat balasannya Muqauqis menulis, meskipun tidak memeluk Islam ia mengakui kenabian Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam. “Setelah membaca surat Tuan dan memahami apa yang Tuan sebutkan, sebenarnya saya mengetahui bahwa seorang nabi akan datang. Saya menduga, ia muncul di Syam, dan saya menghormati utusan Tuan.”

Tanpa Keraguan
Memang, kala itu, siapa pun yang benar-benar beriman kepada Nabi Musa ‘Alahissalam  dan Nabi Isa ‘Alahissalam, tentulah merindukan kedatangan seorang nabi yang dijanjikan Allah. Setelah menyaksikan sang nabi yang ditunggu-tunggu itu benar-benar datang, tanpa ragu mereka pun mengimaninya.
Ramalan mengenai kedatangan Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam juga santer di kalangan kaum Yahudi. Bukan hanya para rahib, bahkan orang awam pun sering mendiskusikannya. Ketika Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam hijrah ke Madinah, beliau didatangi Abdullah bin Salam, seorang tokoh rahib Yahudi. Setelah berdialog mengenai beberapa hal, rahib itu yakin bahwa Muhammad adalah Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam yang telah lama dijanjikan.
Maka, tanpa ragu, ia pun mengakui kerasulan Muhammad Shallallhu ‘alaihi wasallam. Lalu katanya, “Saya bersaksi bahwa Tuan adalah Rasulullah yang datang membawa kebenaran. Saya adalah rahib Yahudi dan anak rahib besar Yahudi. Harap Tuan tanyakan kepada siapa saja, sebelum mereka mengetahui bahwa saya telah masuk Islam. Sebab, jika nanti mereka tahu saya telah masuk Islam, pasti perkataan mereka mengenai saya bakal macam-macam.”
Lalu NabiShallallhu ‘alaihi wasallam memanggil tokoh-tokoh masyarakat Yahudi, sementara Abdullah bin Salam bersembunyi. Nabi minta mereka agar beriman kepada Allah dan bersaksi bahwa sebenarnya mereka tahu Muhammad Shallallhu ‘alaihi wasallam adalah utusan Allah.
“Kami tidak mengetahui tentang hal itu.”
Lalu Rasulullah bertanya, “Bagaimana kedudukan Abdullah bin Salam di antara kalian?”
“Dia adalah rahib kami dan anak rahib besar kami. Dia orang yang paling alim di antara yang alim.”
“Bagaimana jika ia telah masuk Islam?” tanya Rasulullah lagi.
“Tidak, tidak mungkin. Tidak mungkin ia masuk Islam!”
Sejurus kemudian NabiShallallhu ‘alaihi wasallam mempersilakan Abdullah bin Salam keluar dari persembunyiannya.
Maka Abdullah, yang telah menjadi muslim, pun muncul lalu berkata, “Wahai kaum Yahudi, takutlah kalian kepada Allah. Demi Allah, yang tidak ada Tuhan selain Dia, dialah Rasul Allah yang kamu juga ketahui itu. Dia telah datang membawa kebenaran.”
Meski sudah mendengar ucapan Abdullah bin Salam yang sangat dihormati itu, tetap saja mereka membangkang. “Tidak, Tuan telah berdusta!”
Di belakang hari, Abdullah bin Salam termasuk sahabat Nabi Shallallhu ‘alaihi wasallam yang terkemuka.
Berita mengenai kedatangan nabi baru – sekitar dua abad setelah wafatnya Nabi Isa‘Alaihissalam – memang menjadi bahan diskusi dan pergunjingan di kalangan kaum Yahudi. Bukan hanya di kalangan rahib atau rabi, bahkan juga di kalangan awam.
Suatu hari, di musim haji, enam orang Arab asal Madinah buru-buru menuju ke Makkah untuk menyampaikan kabar mengenai kenabian Muhammad, yang sudah lama dan sering mereka dengar dari komunitas Yahudi. Sampai di Makkah, mereka menyaksikan Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam yang dengan fasih dan bijak berdakwah.

Berlipat Ganda
“Inilah nabi yang selalu disebut-sebut oleh orang Yahudi Madinah itu. Ia membawa ajaran kebenaran. Mari kita menjadi pengikutnya, jangan sampai kedahuluan orang-orang Yahudi itu,” ujar salah seorang di antara mereka. Hebatnya, bahkan sebelum menyatakan beriman, mereka pulang kembali ke Madinah untuk berdakwah.
Pada musim haji tahun berikutnya, mereka kembali menunaikan haji ke Makkah. Kali itu bersama sejumlah kaum muslimin, yang ingin bertemu Rasulullah untuk menyatakan keimanan. Dalam musim haji tahun berikutnya lagi, jumlah kaum muslimin asal Madinah yang menunaikan ibadah haji di Makkah berlipat ganda, sehingga Islam tersiar luas di Madinah Al-Munawwarah, kota Nabi yang bercahaya terang benderang.
Berita akan datangnya nabi baru itu juga didengar oleh kalangan Majusi, kaum penyembah matahari di Persia (kini Iran). Di antara mereka terdapat seorang pemuda, Salman Al-Farisi, yang gelisah mencari kebenaran Ilahiah. Dari penganut Majusi, mula-mula ia memeluk Nasrani. Pada suatu hari ia diutus oleh gurunya, seorang pendeta Nasrani, untuk berangkat ke Makkah mencari informasi mengenai nabi baru yang dijanjikan Tuhan.
Ciri-cirinya, antara lain, ia berasal dari Tanah Arab, membawa agama Nabi Ibrahim‘Alaihissalam, akan hijrah ke suatu tempat di antara dua tanah berbatu-batu dan banyak pepohonan kurma, tidak mau menerima zakat, di antara dua bahunya terdapat cap kenabian. Maka berangkatlah Salman sehingga bertemu Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam.
Bahkan sampai belasan abad kemudian, Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam tetap dikenang sebagai “raksasa sejarah” – setidaknya oleh Will Durant, seorang cendekiawan dan orientalis Barat. Dalam bukunya, The Story of Civilization, antara lain ia menulis, “Jika kita mengukur kebesaran dan pengaruhnya, dia seorang raksasa sejarah. Dia berjuang meningkatkan tahap ruhaniah dan moral sebuah bangsa yang tenggelam dalam kebiadaban karena panas dan kegersangan gurun. Dia berhasil lebih sempurna dari pembaharu mana pun. Belum pernah ada orang yang begitu berhasil mewujudkan harapan-harapannya seperti dia.”
Sementara Thomas Carlyle, cendekiawan yang lain, menulis dalam On Heroes and Hero Worship, “Dia datang bagaikan sepercik sinar dari langit, jatuh ke padang pasir yang tandus, kemudian meledakkan butir-butir debu menjadi mesiu yang membakar angkasa, dari Delhi hingga ke Granada.” Padahal, kedua orientalis Barat itu belum pernah berjumpa dengan Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam, bahkan mereka sama sekali tidak beriman kepadanya!
Michael H. Hart bahkan seorang Nasrani. Namun dalam bukunya – yang diterjemahkan oleh kolumnis H. Mahbub Djunaidi dengan judul Seratus Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah – menempatkan beliau pada urutan pertama dari 100 tokoh dunia. Michael H. Hart bukan sembarang intelektual. Ia memiliki gelar doktor dalam empat bidang ilmu: matematika, hukum, kimia, angkasa luar, dari empat universitas terkemuka di Amerika Serikat.
Mengapa dia memilih Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam sebagai tokoh pada urutan pertama? Inilah antara lain alasannya, “... saya berpegang pada keyakinan saya, dialah satu-satunya manusia dalam sejarah yang berhasil meraih sukses-sukses luar biasa, baik ditilik dari ukuran agama maupun ruang lingkup duniawi.” (may/voa-islam.com)
»»  READMORE...

Peninggalan Arkeologis Tertua di Nusantara

Kepulauan Nusantara yang dilalui garis khatulistiwa merupakan kawasan tropis yang mempunyai banyak peninggalan dari masa silam, baik masa silam yang tidak terlalu jauh, atau pun masa silam yang cukup jauh hingga ribuan tahun sebelum tarikh Masehi mulai dihitung. Dalam perkembangan sejarah kebudayaan Indonesia dikenal adanya pembabakan atau periodisasi yang meliputi beberapa tahapan perkembangan zaman peradaban (the age of civilization). Pada hampir semua wilayah Nusantara babakan pertama dari peradabannya adalah masa prasejarah, suatu masa yang belum meninggalkan bukti-bukti tertulis. Masa prasejarah tersebut ternyata berhenti pada waktu yang berbeda-beda di tiap wilayah kepulauan Nusantara. Ada wilayah yang cepat meninggalkan bukti tertulis dalam sekitar abad ke-4 M (adalah Kalimantan Timur dan Jawa bagian barat), tetapi ada pula daerah yang sangat terlambat mengenal tulisan (misalnya wilayah pedalaman pulau-pulau Kalimantan, Sulawesi, dan Papua).
Di antara zaman prasejarah dan zaman sejarah, terdapat suatu masa peralihan yang lazim disebut dengan masa protosejarah. Suatu daerah disebut telah memasuki masa protosejarah apabila mempunyai dua bukti atau dua kondisi, sebagai berikut:


1.Apabila berita tentang daerah tersebut telah dicatat oleh penduduk wilayah lain yang telah mengenal tulisan, sementara penduduk setempat belum mengenalnya.


2.Apabila di suatu wilayah terdapat bentuk-bentuk yang diduga tulisan dan dipahatkan atau digoreskan pada media batu, logam, atau media keras lainnya, akan tetapi belum dapat dibaca atau diartikan hingga sekarang.


Ketika wilayah Tarumanagara di Jawa bagian barat dan Kutai Kuno di Kalimantan Timur telah meninggalkan prasasti-prasastinya, maka pada masa itu banyak daerah lain di Nusantara masih dalam era prasejarah, sekurang-kurang dalam kondisi protosejarah sebab berita-berita tentang pantai timur Sumatra, dan Kalimantan telah dicatat dalam laporan-laporan perjalanan para musafir Cina. Pada waktu di Jawa, Sumatra, dan Bali telah berdiri kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Buddha, maka di banyak wilayah pedalaman pulau lainnya di Nusantara masih dalam kondisi protosejarah. Berita-berita tentang wilayah yang belum meninggalkan sumber tertulis tersebut telah dicatat dalam naskah-naskah Jawa Kuno dan Bali Kuno misalnya dalam kakawin Nagarakrtagama dan kitab Pararaton. Demikianlah bahwa di berbagai daerah Indonesia, batas akhir zaman prasejarah dan protosejarah itu berbeda-beda, tidak mempunyai batas kronologi yang sama dan sejajar.
Masa prasejarah adalah era panjang tanpa peninggalan tertulis, di kepulauan Indonesia masa prasejarah membentang sebelum zaman proto-sejarah (secara umum dihitung dari abad pertama hingga ke-4 M). Untuk mudahnya masa prasejarah Indonesia diidentifika-sikan dari abad pertama masehi dan terus mundur ke belakang hingga temuan tertua dari masa itu yang berhasil dikaji hingga sekarang. Berdasarkan temuan fossil Pithecanthropus Erectus dan Pithecanthropus Soloensis yang terdapat di Pulau Jawa dapat diduga manusia purba tersebut hidup sekitar 80.000—50.000 tahun yang lalu. Usia tertinggi yang dapat dicapai oleh manusiaPithecanthropus adalah 75 tahun, umur harapan pada waktu lahir antara 20 tahun, sedangkan umur rata-rata hidup Pithecantropus antara 15—25 tahun (Soejono 1984: 79). Fossil manusia purba lainnya dari genus Homo yang ditemukan di Indonesia adalah Homo Wajakensis dan. Manusia Wajak telah dapat digolongkan sebagaiHomo Sapiens, namun berbeda dengan manusia sekarang (Homo Sapiens-sapiens). Pada fossil Homo Wajakensis terdapat ciri yang memperlihatkan Mongoloid dan juga Australomelanesid, mungkin sekali dari ras Wajak tersebut menurunkan subras Melayu Indonesia sebagaimana yang hidup sekarang. Homo Wajakensisditafsirkan hidup sekitar 40.000 tahun sebelum sekarang (Soejono 1984: 82). Ras-ras manusia purba tersebut yang diduga hidup dalam periode berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana dan dalam era selanjutnya, masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut.
Masa bercocok tanam di Indonesia berlangsung sekitar 10.000 tahun yang lalu, pada masa itu terdapat bukti-bukti bahwa penduduk kepulauan Indonesia telah menetap dan mengolah tanah untuk menghasilkan makanan. Mereka tidak lagi hidup berpindah-pindah mengikuti hewan buruan dan mencari bahan pangannya. Setelah masa tersebut menyusul periode kemahiran pertukangan (perundagian), di Indonesia masa perundagian dimulai antara 4000 tahun-3000 tahun yang lalu (Soejono 1981: 20). Dalam masa perundagian masyarakat manusia telah mengenal perkakas logam, menghasilkan monumen-monumen dari batu besar, membuat rumah-rumah panggung yang ditopang sejumlah tiang, dan ada bukti-bukti melakukan pemujaan kepada arwah leluhur. Mendekati tahun pertama Masehi, penduduk wilayah kepulauan Indonesia semakin maju kepandaiannya, dan sudah mulai dicatat dalam berita-berita para musafir dari India dan Cina. Demikianlah akhirnya pada abad ke-4 M, di sebagian wilayah Indonesia telah dikenal bentuk tulisan Pallawa yang berasal dari India, maka secara umum dapat dinyatakan bahwa kepulauan Indonesia memasuki zaman sejarahnya.

/2/
Kajian ringkas ini membicarakan tentang peninggalan-peninggalan tertua yang terdapat di kepulauan Nusantara. Tentu saja kronologi yang berkaitan dengan peninggalan tertua tersebut adalah zaman prasejarah, bukan dari zaman Hindu-Buddha yang sudah berada dalam babakan sejarah. Pengertian peninggalan yang dimaksudkan dalam telaah ini adalah benda-benda dari masa lalu yang bersifat monumental dan besar (megalitihic), bukan artefak batu (lithic) yang dapat dibawa dengan mudah (moveable artifact) seperti kampak batu atau peralatan batu lainnya yang digolongkan ke dalam jenis palaeolithic atau pun Neolithic.
Dataran tinggi agaknya wilayah yang telah lama menjadi perhatian nenek moyang bangsa Indonesia, karena di banyak tempat di wilayah dataran tinggi selalu didapatkan peninggalan purbakala yang mengindikasikan pernah adanya ritual keagamaan di masa silam. Beberapa contoh dataran tinggi yang mempunyai banyak kepurbakalaan dari kebudayaan masa silam Indonesia yang dihubungkan dengan aktivitas religi, antara lain adalah: (a) Bada, di wilayah Sulawesi Tengah, situs tersebut memiliki arca-arca batu monolitik berukuran besar, selain benda-benda batu lainnya seperti menhir dan kalamba, (b) dataran tinggi Parahyangan di Jawa Barat juga mempunyai banyak peninggalan kuno misal bangunan punden-punden berundak, (c) Dieng, merupakan dataran tinggi yang mempunyai peninggalan bangunan candi-candi Hindu dengan arsitektur tergolong tua di Jawa, dan (d) dataran tinggi Basemah (Pasemah) di Sumatera Selatan yang juga dipenuhi oleh berbagai peninggalan kuno yang sangat mungkin berhubungan dengan kegiatan keagamaan. Dalam hal kepurbakalaan di dataran tinggi Dieng, dalam kajian ini tidak akan diperbincangkan lebih lanjut, karena termasuk peninggalan dalam zaman Hindu-Buddha, namun perlu disebutkan bahwa penghormatan kepada dataran tinggi ternyata terus berlanjut dalam era sejarah seperti di Dieng (abad ke-8–11 M), Gedong Songo (abad ke-8 M), dan Gunung Penanggungan (abad ke-14—15 M). Penghormatan seperti itu terus juga terjadi hingga masa perkembangan Islam di Tanah Jawa, namun hal dapat menjadi bahan kajian tersendiri.
Sejalan dengan hal itu maka dalam telaah ini dikemukakan 3 situs penting di Indonesia yang terletak di dataran tinggi, namun aspek-aspeknya belum banyak diungkapkan oleh para ahli arkeologi. Ketiga situs itu adalah:
1.Situs megalitik Pasemah, sebagian besar situs terletak di wilayah Pagar Alam di Sumatera selatan.
2.Situs megalitik di Lembah Bada, Poso, Sulawesi Tengah.
3.Situs Goa Made di wilayah Jombang bagian utara yang baru saja ditemukan dan dikaji dalam tahun-tahun terakhir ini.
Kronologi ketiga situs tersebut masih belum dipastikan secara tepat, karena banyak temuan serta yang dapat membantu menentukan penanggalan relatifnya. Berdasarkan temuan serta yang ada situs-situs tersebut mempunyai kronologi panjang, sejak zaman bercocok tanam-perundagian hingga zaman sejarah. Di Goa Made kronologi termuda menembus hingga masa Kerajaan Majapahit dalam abad ke-14-15 M.

/3/
Agar pembicaraan dapat terarah dan sistematis, selanjutkan diuraikan secara garis besar, gambaran 3 situs penting di Indonesia itu sebagai berikut:
a.Situs Lembah Bada, Poso, Sulawesi Tengah.
Seorang pendeta Belanda dalam tahun 1898 melaporkan bahwa di daerah Sulawesi Tengah dekat dengan Danau Poso terdapat arca-arca batu berukuran besar dan kecil. Laporan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan datangnya peneliti Belanda lainnya bernama A.C.Kruyt dalam tahun 1908. Ia mendapatkan arca-arca megalitik di lembah yang luas, lembah itu dinamakan Bada, di jantung Pulau Sulawesi.

Foto 1: Salah satu arca megalitik di Lembah Bada, tinggi 4 m, penduduk setempat
Menamakannya dengan Paliodo (Internet, 2010).
Temuan menarik adalah adanya arca-arca dalam bentuk tonggak batu yang menancap ke dalam tanah dengan tingginya sekitar 4 m. Arca itu digambarkan memiliki alat genital laki-laki, penduduk setempat menamakannya dengan Paliodo. Selain arca Paliodo di daerah yang sama juga dilaporkan arca lain yang dinamakan denganLoga, arca berdiri menancap di tanah, namun tidak digambarkan jenis kelaminnya. Ditemukan juga arca-arca yang berukuran lebih kecil sekitar 1,50—1,60 m, lumpang batu, batu berlubang, batu dakon, dan monolit lainnya (Mulia 1980: 623). Para ahli Belanda kemudian menyatakan bahwa arca-arca Lembah Bada berasal dari masa prasejarah, namun belum ada penelitian yang lebih mendalam dan mengungkapkan perihal kehadirannya di daerah pegunungan di pedalaman Sulawesi Tengah.
Di daerah Bada dan sekitarnya juga dijumpai bejana batu, ada yang dinding luarnya polos tanpa hiasan, namun ada pula yang dihias dengan relief rendah menggambarkan wajah manusia (topeng). Penduduk setempat menamakan bejana batu itu dengan kalamba dan mempunyai tutup batu pula, tetapi banyak tutupkalamba yang telah pecah. Ditafsirkan bahwa kalamba dahulu berfungsi untuk meletakkan jenazah, jadi sebagai kubur. Bejana batu sebagai kubur ternyata dijumpai pula di daratan Asia Tenggara, terutama di lembah Sungai Mekhong (Laos) (Prasetyo 2004: 128). Berdasarkan berbagai peninggalan arkeologi yang bersifat monumental tersebut dapat dikemukakan bahwa masyarakat pendukung peradaban di Lembah Bada pada masa silam relatif telah cukup maju, dan sengaja memilih dataran tinggi yang berupa lembah di antara rangkaian pegunungan yang mengitarinya.
b.Situs Pasemah, Pagar Alam, Sumatra Selatan.
Di wilayah Pagar Alam, di lereng Gunung Dempo (3159 m), Sumatra Selatan, terdapat situs megalitik yang sangat luas, dalam kajian arkeologi Indonesia dikenal dengan nama situs megalitik Pasemah. Peneliti pertama yang membahas peninggalan arkeologi Pasemah, ialah L.Ullmann, telaahnya dimuat dalam karyanya berjudul“Hindoe-belden in de binnenlanden van Palembang” (1850), ia menyatakan bahwa arca-arca besar dari batu tunggal yang ditemukan tersebar di dataran tinggi Pagar Alam merupakan arca-arca dewa Hindu. Pernyataan itu diperkuat oleh E.P.Tombrink dalam karyanya yang berjudul “Hindoe-monumenten in Bovenlanden van Palembang” (1872). Dalam karyanya Tombrink menyimpulkan bahwa kepurbakalaan yang terdapat di pedalaman Palembang, atau di Tanah Basemah dibangun oleh orang-orang dari masa silam yang mendukung kebudayaan Hindu. Begitupun L.C,Westenenk dalam makalahnya yang berjudul “De Hindoe-Javanen in Midden- en Zuid Sumatra” (1921) dan De Hindoe-Oudheden in de Pasemah-Hoogvlakte (Residentie Palembang)(1922), menyatakan bahwa peninggalan kepurbakalaan di Pasemah tersebut berasal dari aktivitas orang yang beragama Hindu yang berasal dari luar Sumatera.

Foto 2: “Batu Gajah” dari Pasemah yang sekarang disimpan
di Museum Balaputradewa, Palembang (Internet, 2010).
Peneliti yang secara luas mempelajari situs Pasemah ialah A.N.J.Th.a.Th.van Der Hoop dalam bukunyaMegalithic Remains in South Sumatra (1932). Ia menyimpulkan bahwa arca-arca di situs Pasemah dibuat oleh masyarakat megalitik. Hasil kajian Van Der Hoop mencatat adanya bermacam peninggalan kebudayaan megalitik di dataran tinggi Pasemah, sebagai berikut:
1.Arca-arca yang diletakkan di berbagai lokasi, dengan orientasi berbeda menghadap ke berbagai arah.
2.Lesung batu, menurut Van der Hoop benda ini dapat dijadikan penanda adanya garis poros, namun tidak dijelaskan apa yang dimaksudkan dengan garis poros tersebut.
3.Palung batu, bentuknya seperti sarkopagus dalam ukuran kecil, mungkin sebagai tempat untuk meletakkan tulang belulang si mati dalam proses penguburan kedua (secondary burial).
4.Batu-batu tegak (menhir) yang berdiri terpisah-pisah
5.Tetralith : kelompok 4 batu dengan denah empat persegi panjang, orientasinya timur-barat, terletak antara lain di Gunungmegang. Kelompok tetralith tersebut ada yang ditata dengan teratur, tetapi ada juga yang diletakkan “asal-asalan”.
6.Jalan dengan hamparan batu (stone avenue), terletak di Talang Padang dengan orientasi utara selatan.
7.Dolmen ditemukan di banyak lokasi, tidak memperlihatkan adanya pola atau garis poros yang dapat dihubungkan dengan keletakkan tersebut.
8.Kubur batu (stonecist), hampir semua kubur batu mempunyai orientasi timur-barat, dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa tradisi penguburan yang dikenal dalam kebudayaan Pasemah kuno adalah dengan arah demikian.
9.Batu-batu berlubang atau disebut juga batu dakon ditemukan di beberapa tempat ada yang mempunyai banyak sekali lubang di permukaannya, ada pula yang hanya sedikit lubang.
10.Kuburan bertingkat (terrace graves) , dalam sumber tradisi dianggap sebagai kuburan si Pahit Lidah terdapat di daerah Mingkik. Punden berundak tersebut mempunyai orientasi barat laut-tenggara, jika dibandingkan dengan punden bertingkat di Lebak Sibedug Banten, maka orientasinya berbeda, karena punden berundak Lebak Sibedug mempunyai orientasi timur-barat. Demikianlah dalam hal orientasi mata angin, maka megalitik di Pasemah mempunyai dua macam orientasi yang selalu dikenal, yaitu timur-barat dan barat laut-tenggara (van Der Hoop 1932: 151–153).
Van Der Hoop menyatakan bahwa para pendukung kebudayaan megalitik di Pasemah bukan orang-orang Negrito, sebagaimana yang pernah dinyatakan oleh L.C.Westenenk (1921 & 1922), melainkan orang-orang setempat sendiri, merekalah nenek moyang etnik Melayu yang berkembang di masa kemudian. Masa itu di wilayah Pasemah berkembang kebudayaan megalitik bersamaan dengan teknik pembuatan benda-benda perunggu, hal itulah yang terlihat dari temuan kekunaan yang ada di wilayah tersebut (1932: 156—157). Pernyataan yang menarik dari Van Der Hoop adalah gambaran nekara yang dipahatkan di punggung tokoh pria yang menaiki gajah (Batu Gajah) haruslah dijadikan leitfossil” (fosil pemandu) yang dapat dipergunakan untuk memecahkan permasalahan megalitik Pasemah (1932: 158).
Nekara perunggu ternyata dijumpai di beberapa lokasi lain di Indonesia, antara lain di Sumatra, Jawa, dan Bali. Oleh karena itu sepantasnya kemahiran membuat benda-benda perunggu telah tersebar merata di kalangan penduduk Nusantara sebelum datangnya pengaruh India.
c.Topeng-topeng perunggu dari Situs Goa Made, Jombang, Jawa Timur
Penelitian arkeologi di Goa Made mulai dilakukan oleh para arkeolog Indonesia dibantu Anacleto Spazzapan ahli geometri Italia dalam tahun 2006. Sebenarnya sebelum penggalian arkeologi tahun 2006 telah banyak ditemukan topeng perunggu oleh penduduk setempat. Topeng-topeng tersebut bentuknya bermacam-macam, namun sebagaimana topeng, maka yang digambarkan hanyalah bagian penutup wajah saja. Ada juga yang wujudnya patung dada jadi digambarkan kepala hingga dadanya (patung torso), dan terdapat pula topeng yang menggambarkan kepala hingga leher. Ukurannya bervariasi pada setiap topeng, untuk jelasnya perhatikan beberapa contoh topeng pada foto-foto berikut,
Foto 3: beberapa contoh topeng yang ditemukan dari situs Goa Made (Hettabrezt spa, 2009)

Ukuran ø 27 cm, tinggi 25 cm Ukuran ø 18 cm, tinggi 17 cm Ukuran 31 x 26, tinggi 36 cm
Artefak perunggu dari Goa Made jumlahnya lebih dari 100 macam benda, umumnya berupa topeng, namun ada juga artefak lainnya seperti:
1.hewan gajah,
2.babi hutan yang ditunggangi manusia,
3.tabung silindris dengan puncak kepala manusia ganda (menghadap ke depan-belakang),
4.kelompok wadah seperti: bejana upacara, kendil, kendil bercucuk, dan lainnya
5.figur perempuan yang sedang menyusui anaknya,
6.gajah sedang mengamuk, belalainya membelit dan menginjak orang-orang, di punggungnya digambarkan ada pengendaranya yang sedang meniup terompet
7.Kereta dikendarai beberapa orang yang sedang ditarik gajah, dan sebagainya
Dengan beranekanya temuan benda perunggu yang terdapat di situs Goa Made dan sekitarnya, menunjukkan bahwa areal situs tersebut di masa silam mempunyai peranan penting dalam aktivitas manusia. Pembicaraan selanjutnya adalah perihal topeng perunggu saja, karena topeng seperti itu tidak pernah dikenal dalam khasanah arkeologi Indonesia, sedangkan mengenai benda-benda lainnya akan dijelaskan dalam kajian selanjutnya.
Apabila diperhatikan secara sepintas, maka raut wajah yang digambarkan oleh topeng-topeng tersebut banyak yang bukan memperlihatkan wajah orang Jawa atau orang Indonesia pada umumnya. Wajah-wajah topeng umumnya digambarkan dengan: (a) mata yang salah satu sudutnya (sudut luar) lebih naik dari sudut lainnya yang dekat dengan pangkal hidung, (b) beberapa topeng jelas digambarkan dengan mata yang sempit, (c) alis di atas mata juga digambarkan melengkung naik mengikuti mata yang digambarkan miring, hal itu mirip dengan raut wajah orang-orang Asiatic Mongoloid.
Oleh beberapa arkeolog Indonesia situs Goa Made dihubungkan dengan periode Majapahit, alasan mereka adalah terdapatnya artefak perunggu dan batu yang dapat diidentifikasikan dari era Majapahit. Artefak-artefak khas Majapahit itu justru ditemukan dalam penggalian arkeologi tahun 2006 yang lalu. Penggalian itu dilakukan atas kerja sama antara arkeolog Indonesia dan ahli dari Italia, hasil penggalian menghasilkan bermacam temuan antara lain topeng perunggu, fragmen benda-benda perunggu, dan juga pecahan clupak batu (lampu minyak).
Selain itu dari temuan lepas yang berasal dari sekitar situs Goa Made pun mengindikasikan bahwa banyak artefak perunggu justru berasal dari zaman Majapahit, seperti patung gajah, perempuan menyusui, perempuan dan anak-anaknya dalam perahu yang dihias bentuk kepala berang-berang, kereta yang ditarik gajah, dan sebagainya, jelas menunjukkan dari zaman Majapahit. Hal yang menarik adalah ditemukan arca bhiksu-bhiksudan dewa-dewa Buddha yang khas bergaya Cina, dan itu pun dapat dipastikan berasal dari sekitar abad ke-13—14, artinya sezaman dengan perkembangan Majapahit.
Perkara yang justru penting dan harus dijelaskan adalah banyaknya temuan artefak yang berwujud topeng dengan wajah yang umumnya berbeda dengan wajah-wajah orang Melayu (Malayan-Mongoloid). Penggambaran wajah-wajah yang tidak bercirikan wajah Melayu terdapat juga pada beberapa artefak batu dan nekara perunggu dari masa prasejarah dalam zaman megalitik Indonesia, artinya jauh dari masa perkembangan Majapahit.
kubur5
Foto 4: Perbandingan wajah topeng dari Goa Made dengan “topeng” dari Kalamba, Sulawesi Tengah
(Hettabrezt spa, 2009 & Soejono, 1984)
Pada foto 4 dapat disimak secara baik adanya kemiripan yang sangat kentara antara raut wajah salah satu topeng dari Goa Made dengan hiasa wajah “topeng” yang dipahatkan pada sisi luar salah satu bejana batu(kalamba) yang terdapat di Sulawesi Tengah. Alis mata dan mencuat tinggi menjauhi pangkal hidung jelas menunjukkan bahwa wajah demikian bukan milik orang-orang Indonesia seperti yang disaksikan pada masa sekarang. Mungkin saja wajah demikian adalah raut muka milik orang setempat pembuat artefak-artefak yang kemudian menjadi nenek moyang bangsa-bangsa di Asia Tenggara. Ras manusia Malayan-Mongoloidsebenarnya adalah hasil perpaduan antara orang-orang Mongoloid yang melakukan migrasi dari Asia daratan dan mereka bertemu dengan orang Austramelanesid. Dengan demikian penduduk kepulauan Indonesia, semenanjung Malaysia, Brunei, Filipina, Khmer, dan Myanmar dewasa ini adalah keturunan manusia hasil perkawinan antara ras Mongoloid dan Austramelanesid.
Pada foto 5 terlihat adanya bentuk lain dari wajah topeng-topeng Goa Made, torso perunggu tersebut wajahnya dilengkapi alis yang melengkung di atas matanya, namun mata digambarkan masih “sipit”, tidak bulat melebar. Hal yang menarik adalah penggambaran dagu yang kuat tajam pada bagian bawah wajah. Wajah patung batu (tinggi sekitar 3 m) dari Lembah Bada, Sulawesi Tengah, alis mata digambarkan masih mencuat naik ke arah dahinya, namun matanya telah digambarkan bulat melebar, bukan mata yang sipit lagi. Dagunya pun digambarkan kuat dan tajam seperti halnya dagu pada arca torso perunggu.
Foto 5: Patung torso perunggu Goa Made dibandingkan dengan wajah arca Lembah Bada
(Hettabrezt spa 2009 & Mulia, 1980)

Patung menhir, Lembah Bada
Wajah-wajah seperti itu terlihat adanya ciri-ciri Austramelanesid bersama dengan Mongoloidnya. Agaknya patung-patung dengan wajah demikian merupakan kelompok penduduk prasejarah tertentu yang tinggal di Kepulauan Nusantara. Kemudian terdapat pula kelompok topeng jenis ketiga dengan ciri tertentu pula. Ciri itu antara lain dengan (a) penggambaran wajah yang agak membulat, (b) mata besar tidak menyempit, (c) hidung besar melebar, dan (d) bibir tebal, ciri demikian sangat dengan penggambaran arca-arca “nenek moyang” yang terdapat di dataran tinggi Pasemah yang akan dibicarakan lebih lanjut.
Hingga sekarang belum dapat dilakukan perbandingan terhadap seluruh temuan topeng dari Goa Made dengan artefak-artefak lain yang juga “mengandung” gambar topeng. Melalui beberapa topeng yang telah dibicarakan dapat diketahui adanya padanan antara wajah beberapa topeng Goa Made dengan wajah yang terdapat di artefak lainnya. Berdasarkan tinjauan tersebut dapat diketahui bahwa seluruh artefak pembanding kronologinya berasal dari era prasejarah Indonesia, karena semua artefak pembanding ditemukan di wilayah Indonesia.
Beberapa topeng torso lainnya yang digambarkan memakai topi, antara lain topi seperti helm yang mencuat ke atas dan dilengkapi dengan seutas tali atau kabel dari bagian dahi kemudian naik ke puncak kepala dan menjuntai di bagian tengah-belakang kepala, ada juga topeng torso yang bagian puncak kepalanya lancip meninggi, dan topeng yang pada bagian tengah dahinya mempunyai semacam tanduk kecil (contoh: topeng di foto 3), belum dapat dijelaskan dalam kajian ini. Jadi masih banyak peluang untuk melakukan penelitian di masa mendatang.
Di wilayah utara Jombang yaitu di kawasan Kabupaten Tuban dan Lamongan, jadi tidak terlalu jauh dengan situs Goa Made, pernah dilaporkan adanya penemuan nekara. Di Tuban nekara ditemukan di Weleran, daerah perbukitan kapur. Ketika ditemukan nekara tersebut dalam posisi terbalik, bidang pukulnya terdapat di bawah, tinggi nekara 74 cm, adapun garis tengah bidang pukulnya 93 cm. Di dalam nekara terdapat arca gajah perunggu, dan 8 artefak lain, yaitu senjata tajam dari besi dan pecahan tanah liat. Arca gajah perunggu digambarkan sedang berdiri dengan belalainya diangkat ke atas, ekornya melengkung hingga punggung, sehingga bagian ekor itu dapat difungsikan sebagai pegangan untuk mengangkat arca tersebut. Tinggi arca gajah 32 cm, panjang 36 cm (Prasetyo 2004: 152).
Dalam pada itu dari daerah Kradenrejo, Lamongan, ditemukan juga 2 nekara perunggu yang bagian kakinya bertemu, jadi bentuk kedua nekara itu seperti kendang berpinggang, karena kedua bidang pukul berada di kedua sisinya. Hal yang menarik ukuran kedua nekara tersebut relatif sama, yaitu tinggi 42 cm dan garis tengah bidang pukulnya 27 cm. Di dalam kedua nekara yang dipertemukan tersebut terdapat manik-manik dari batu kalsedon, kalung dan tusuk konde emas, alat-alat perunggu dan besi, alat kayu, batu-batuan, tulang hewan, dan rangka anak-anak (Prasetyo 2004: 153—154).
Dalam pada itu di area sekitar Goa Made sendiri pernah dilaporkan adanya temuan kerangka manusia dalam ukuran kecil, mungkin kerangka anak-anak. Hanya saja tulang belulang kerangka itu sekarang telah tiada, hancur karena pengerjaan pertanian yang dilakukan oleh penduduk setempat. Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa situs Goa Made sebagai bukti peradaban masa silam tidaklah “sendirian” berada di tengah lingkungannya, namun di daerah utaranya ditemukan berbagai bukti aktivitas masyarakat yang menghasilkan artefak-artefak perunggu dan besi.

/4/
Lembah Bada, walaupun disebut lembah sebenarnya merupakan dataran tinggi yang dikelilingi perbukitan. Karena wilayah itu lebih rendah dari perbukitan di sekitarnya, maka dinamakan dengan lembah, padahal Lembah Bada terletak pada ketinggian sekitar 2000 m dari permukaan laut.
Peninggalan arkeologis di Lembah Bada, Sulawesi Tengah, secara dominan menunjukkan adanya sejumlah arca batu yang digambarkan statis dan sederhana. Arca-arca itu tingginya ada yang mengesankan antara 3—4 m, dan penggarapannya pun hanya secara garis besar saja pada wajah dan tangan. Kesan secara keseluruhan arca-arca di Lembah Bada seperti tonggak atau tiang (pilar) batu yang kokoh berdiri mencuat dari dalam tanah. Arca-arca Lembah Bada secara keseluruhan digambarkan tanpa kaki, karena batu tegak yang mirip pilar itu ditancapkan ke dalam muka tanah.
Penggarapan wajah arca pun sederhana saja, hidung digambarkan sedikit menonjol dan pangkal hidung menyatu dengan garis alis yang mencuat ke atas, ke arah dahi. Mata digambarkan dengan bentuk bulatan, dan banyak wajah arca dibuat tanpa penggambaran mulut. Dalam pada itu di bagian tepi wajah terdapat garis batas tebal yang memisahkan wajah dengan bagian kepala lainnya, maka kesan yang diperoleh adalah wajah arca yang digambarkan sejatinya bukan wajah asli, melainkan wajah topeng yang dikenakan pada arca. Wajah dengan alis yang mengarah ke dahi sebagaimana telah dikemukakan merupakan wajah orang Mongoloid yang mengandung ciri Austramelanesid yang menjadi akan cikal bakal penduduk kepulauan Nusantara.
Temuan lain yang terdapat di Lembah Bada adalah bejana-bejana (kalamba) yang beberapa di antaranya dihias relief rendah menggambarkan wajah, terdapat juga batu dakon, batu berlubang, batu bergores dan lainnya. Temuan serta tersebut sama jenisnya dengan yang terdapat di dataran tinggi Pasemah, di tempat itu juga memiliki tinggalan batu dakon, menhir, dolmen, batu bergores dan lainnya, namun temuan di Pasemah lebih beraneka.
Arca-arca batu dalam ukuran besar sangat dominan ditemukan di Pasemah, batu-batu besar itu ada yang dipahat dengan relief rendah membentuk figur orang sedang menaiki gajah, dinamakan dengan Batu Gajah. Van Der Hoop (1932) telah menyatakan bahwa Batu Gajah dapat dijadikan fosil pemandu untuk membantu menjelaskan peradaban Pasemah masa lalu. Mungkin tepatnya bukan fosil pemandu, melainkan artefak pemandu untuk menjelaskan –walaupun sedikit– permasalahan yan masih meliputi peninggalan kuno di Pasemah.
Batu Gajah menggambarkan seorang pria dengan wajah tegas digambarkan dengan mata melotot, mengenakan topi seperti helm, menaiki gajah dengan memegangi telinganya. Hal yang menarik orang itu digambarkan memakai sepatu boot, membawa pedang (belati panjang), dan dipunggungnya terikat nekara, tentunya nekara yang dibawa orang tersebut adalah nekara perunggu. Penggambaran pria dengan busana demikian sungguh aneh dan menarik, pertanyaan yang segera mengemuka adalah “siapakah sebenarnya tokoh pria tersebut?” Menilik pedang atau belati yang diselipkan di pinggangnya, para ahli menyatakan belati itu sama dengan bentuk artefak belati dari kebudayaan perunggu Dong-son di Vietnam. Begitupun nekara perunggu yang dibawa di punggung pria tersebut tentunya ada hubungannya dengan kebudayaan perunggu Dong-son pula. Akan tetapi mengapa penggambaran relief “Pria Dong-son” justru ada di Pasemah, Sumatra Selatan, sedangkan di Vietnam, di situs Dong-sonnya sendiri tidak ada relief atau arca batu yang menggambarkan pria dengan busana demikian?
Tidak hanya di Batu Gajah terdapat “pria Dong-son”, namun dijumpai pula para arca-arca batu lainnya di Pasemah yang menggambarkan lelaki, memakai topi seperti helm, dan mengenakan sepatu boot yang bentuknya seperti garis-garis melingkari kedua kakinya. Mengingat banyaknya penggambaran arca demikian di Pasemah sebaiknya disebut saja sebagai figur “Pasemah warrior” yang dahulu pernah mendiami dataran tinggi Pasemah.
Hingga sekarang belum diketahui kronologi akurat dari situs Pasemah, namun kronologi relatif yang dapat dikenakan kepada situs Pasemah berdasarkan adanya relief nekara dan belati perunggu di Batu Gajah, mungkin semasa dengan perkembangan kebudayaan Dong-son. Kronologi termuda dari Kebudayaan perunggu Dong-son berasal dari tarikh 300 SM, namun masa awalnya dapat jauh lebih tua, mungkin sekitar tahun 2000 SM sejalan dengan proses migrasi penduduk di kawasan Asia Tenggara.
Tinjauan ringkas yang telah dilakukan terhadap topeng-topeng dari situs Goa Made ternyata sangat dekat dengan “wajah” pada artefak batu dari Lembah Bada. Dapat kiranya dinyatakan bahwa tidak semua artefak perunggu yang ditemukan dari situs Goa Made berasal dari era Majapahit, terdapat juga artefak perunggu yang berasal dari periode yang lebih tua, dalam zaman prasejarah Indonesia (Munandar 2010: 11). Apabila kebudayaan Dong-son dipandang sebagai pusat kebudayaan logam perunggu dalam periode prasejarah, maka kebudayaan itu pula yang pengaruhnya dijumpai di beberapa lokasi di kawasan Asia Tenggara.
Penentuan kronologi yang didasarkan kepada hasil kajian komparasi dari perspektif gaya seni topeng Goa Made dengan “wajah” pada artefak-artefak prasejarah lainnya, agaknya tidak berbeda terlalu jauh dengan kesimpulan pengujian laboratorium logam yang dilakukan oleh Anacleto Spazzapan seorang ahli geometri Italia. Spazzapan membawa sampel artefak perunggu dari Goa Made untuk dinalisis di laboratorium Arcadia di Milano, untuk diketahui kronologinya. Maka dari uji laboratorium tahun 2000 tersebut dapat diketahui bahwa umur salah satu artefak logam berasal dari sekitar tahun 1000 SM. Hal yang cukup mengejutkan adalah hasil uji laboratorium terhadap tabung perunggu dengan puncak berhiaskan kepala manusia yang dilakukan oleh Laboratorium Arcadia dalam tahun 1999, kronologi yang didapatkan dari artefak tersebut adalah tahun 3000 SM ! (Munandar 2010: 12). Perbandingan gaya wajah topeng perunggu dengan wajah arca-arca pilar batu di Lembah Bada, ternyata mempunyai beberapa kemiripan, jika topeng-topeng perunggu di Goa Made ditaksir dari era 3000 SM, maka arca-arca pilar di Lembah Bada juga diperkirakan berasal dari kronologi yang sama dengan situs Goa Made. Masih dalam argumen yang sama pula, bahwa artefak perunggu Goa Made dapat dijadikan patokan untuk menentukan kronologi relatif situs Pasemah, maka dapat ditafsirkan bahwa arca-arca batu di situs Pasemah sangat mungkin berasal dari periode yang sama pula dengan era Goa Made dan Lembah bada, yaitu sekitar 3000—1000 SM.
Secara sederhana perbandingan dari ketiga situs masa prasejarah tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut:
DATA ARKEOLOGIS
LEMBAH BADA
PASEMAH
GOA MADE
LOKASI Sulawesi Tengah, 2000 m dari permukaan laut (dpl). Pagar Alam, Sumatra Selatan, 1000 m dpl Jombang utara, Jawa Timur, sekitar 300 m dpl.
KEPURBAKALAAN/
ARTEFAK PENTING
Arca-arca berupa tonggak/pilar batu
Pahatan pada batu besar menggambarkan berbagai figur orang dan hewan secara dinamis.
Topeng-topeng perunggu dan topeng hingga bagian dada (topeng torso).
KARAKTER PADA WAJAH
Mongoloid: alis mata naik, mata digambarkan kecil, walaupun tidak sipit
Austramelanesoid: alis datar, mata melotot, hidung pesek, bibir tebal.
Mongoloid dan Austramelanesoid
PERKIRAAN KRONOLOGI
Tafsiran lama: masa prasejarah
Baru: 3000—1000 SM
Tafsiran lama: 300—100 SM, dari era Kebudayaan Dong-son
Baru: 3000—1000 SM
Termuda: zaman Majapahit Abad ke-14—15 M
Tertua: 3000—1000 SM
TEMUAN SERTA
Artefak megalitik: menhir, batu dakon, kalamba, batu berlubang, dll.
Artefak megalitik dan lukisan dinding kubur, relief nekara.
Nekara, bata-bata besar, pecahan keramik dan gerabah
PENGGAMBARAN FIGUR HEWAN PENTING
Buaya dan Kadal
Gajah, Kerbau, Ular
Gajah, Babi Hutan
Berdasarkan tabel sederhana tersebut dapat ditarik beberapa konklusi yang mengacu kepada data yang ada, yaitu:
1.Ketiga situs terletak di pedalaman pulau, Sulawesi, Sumatra, Jawa, di daerah dataran tinggi.
2.Wajah Mongoloid terihat pada arca-arca pilar Lembah Bada, wajah Austramelanesoid terdapat pada arca-arca Pasemah, namun kedua macam wajah itu terdapat pada topeng-topeng perunggu dari situs Goa Made.
3.Ketiga situs mempunyai asosiasi dengan penjelasan:
a.antara Goa Made dan Lembah Bada ada kemiripan pada wajah topeng-topeng perunggu dengan wajah arca-arca pilar.
b.antara Goa Made dan Pasemah ada asosiasi dengan bukti adanya benda perunggu yang nyata di Goa Made, dan penggambaran benda perunggu (nekara dan belati) pada relief Batu Gajah. Selain itu terdapat topeng-topeng perunggu Goa Made yang wajahnya mirip dengan wajah arca-arca batu di Pasemah.
c.antara Pasemah dan Lembah Bada terdapat persamaan terutama pada lokasi kedua situs itu yang terletak di pedalaman pulau dan di dataran tinggi antara 1000—2000 m dari muka laut.
d. Jika Goa Made ßà Lembah Bada, dan jika Goa Made ßà Pasemah, maka Pasemah diduga mempunyai asosiasi pula dengan Lembah Bada.
Ketiga situs dari masa prasejarah tersebut agaknya telah dirancang dan dipilih dengan baik oleh para pendukungnya dahulu. Jika situs Lembah Bada dan Pasemah temuan arkeologisnya terdapat di permukaan tanah, maka situs Goa Made, temuan arkeologis yang berupa topeng tersebut terdapat di lorong-lorong bawah tanah yang agaknya sengaja dibuat untuk tujuan tertentu. Lorong-lorong bawah tanah di Goa Made di bagian tertentu diperkuat dengan susunan bata berukuran besar-besar, lorong itu pun dapat dimasuki oleh manusia dewasa dengan cara membungkuk dan di ruang lorong yang besar dapat berdiri bebas. Memang sampai sekarang penelitian tentang Goa Made masih belum tuntas benar, namun hal yang menarik adalah temuan topeng perunggu dalam jumlah besar, dan berdasarkan kronologi akuratnya mengacu kepada penanggalan 3000 tahun SM, lebih tua dari kebudayaan perunggu Dong-son di Vietnam.

/5/
Adalah seorang ahli geologi dan fisikawan nuklir bernama Arysio Nunes dos Santos yang menerbitkan bukunya dalam tahun 1997 dengan judul Atlantis-The Lost Continent Finally Found (The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization). Buku ini telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan terbit pertama kali tahun 2009 yang lalu dengan judul gado-gado Atlantis: The Lost Continent Finally Found The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization, Indonesia Ternyata Tempat lahir Peradaban Dunia (Jakarta: Penerbit Ufuk). Thesa penting dalam buku ini adalah kesimpulan penting dari Arysio Santos bahwa benua Atlantis yang hilang sebagaimana yang diuraikan oleh Plato sebenarnya berada di wilayah Indonesia sekarang. Semula benua itu merupakan bagian dari Asia Tenggara yang tidak digenangi airlaut ketika zaman es meliputi bumi. Pada sekitar 11.600 tahun yang lalu zaman es berakhir, maka dataran rendah Tenggara lalu digenangi air dan menjelma menjadi Laut Jawa dan bagian selatan Laut Cina Selatan. Daerah-daerah ketinggian, rangkaian pegunungan dan gunung-gunung tinggi tetap tidak digenangi air lalu menjelma menjadi pulau-pulau Nusantara dewasa ini.
Atlantis yang telah mempunyai peradaban maju itu, menurut Plato mempunyai karakter geografis dan geologis tertentu, itulah yang ditelusuri oleh Dos Santos dan pada akhirnya membawa kepada kesimpulan bahwa Atlantis sekarang terletak di dasar Laut Jawa sekarang. Pakar itu menyatakan:
“Laut Jawa dan Selat Sunda membentuk sebuah daratan yang luas semasa zaman es, saat masih berupa daratan. Daratan seluas itu amat langka. Terlebih lagi paparan Laut Jawa yang bentuknya persegi berukuran sekitar 600 x 400 km2. Ukuran tersebut sama persis dengan gambaran Plato tentang Dataran Agung Atlantis. Jadi, tampaknya masuk akal untuk menyimpulkan bahwa Laut Jawa sekarang ini ada hubungannya dengan Dataran Agung Atlantis” (Dos Santos 2010: 151).
Pada bagian lain dari bukunya Dos Santos menyatakan:
“Kota Atlantis berada di Selat Sunda, selat yang memisahkan Jawa dan Sumatra serta memungkinkan akses ke Dataran Agung Atlantis melalui kanal raksasa yang mengarah ke laut di depan sepanjang Selat Sunda” (2010: 261).
Dos Santos dengan yakin menduga bahwa dataran Atlantis yang dimaksudkan dengan Plato adalah paparan Sunda yang sekarang tenggelam menjadi laut Jawa, jadi sangat mungkin di dasar laut itulah terdapat sisa-sisa peradaban Atlantis kuno. Secara tegas ia juga menyatakan kota besar Atlantis dahulu berada di dataran yang menghubungkan Pulau Jawa dan Sumatra yang sekarang telah terbelah menjadi Selat Sunda, akibat meletusnya Krakatau Purba di akhir zaman es sekitar 11.600 tahun yang lalu.
Perihal Gunung Dempo di Sumatra Selatan yang di lereng tengahnya terdapat situs megalitik yang sangat luas, yaitu situs Pasemah di Pagar Alam, Dos Santos menyatakan bahwa menurut uraian Plato di dataran Atlantis mengalir 4 sungai yang bermata air di sebuah gunung dan mengalir di dasar laut. Keempat sungai itu berhulu di dekat atau di Gunung Dempo, salah satu gunung tinggi di kawasan Sumatra bagian selatan yang dahulu pernah aktif sebagaimana layaknya Krakatau (Dos Santos 2010: 151-152).
Demikianlah kesimpulan yang berhasil dikemukakan Dos Santos tentang benua yang hilang Atlantis yang menurutnya berada di wilayah Indonesia, selanjutnya melangkah pada tahap pembuktian pendapat Dos Santos tersebut. Kalangan ilmuwan yang skeptis hanya menganggap angin lalu saja pendapat terbaru tentang lokasi Atlantis tersebut. Sebab banyak pendapat tentang lokasi Atlantis yang telah dikemukakan oleh para peneliti terdahulu. Mungkin saja di masa mendatang akan muncul lagi pendapat lain yang menempatkan Atlantis di lokasi lain di bumi ini.
Akan tetapi dalam kajian arkeologi Indonesia tentang 3 situs prasejarah yang telah dikemukakan dalam telaah ini terdapat beberapa temuan yang menarik antara lain sebagai berikut:
1.Di lereng Gunung Dempo yang dikemukakan Dos Santos sebagai salah satu puncak gunung Atlantis, terdapat situs prasejarah yang kronologinya dapat lebih tua dari kebudayaan perunggu Dong-son yang hanya berasal dari 300 SM, situs itu adalah Pasemah.
2.Pria dengan busana “Pasemah warrior” tidak dikenal dalam kebudayaan prasejarah manapun, baik di Asia Tenggara, Cina, ataupun India. Suatu penggambaran pakaian perang yang belum dapat dikenali.
3.Sejumlah topeng perunggu dari Goa Made, memperlihatkan manusia dengan memakai topi perang yang tidak pernah dikenali dalam kebudayaan prasejarah di Asia atau dunia. Agaknya merupakan topi logam pelindung kepala dengan dilengkapi bagian yang mencuat di puncak kepalanya. Topi perang dari peradaban manakah itu?, apalagi kronologi akurat menyimpulkan bahwa benda-benda perunggu itu ada yang berasal dari tahun 3000 SM.
5.Arca-arca pilar di Lembah Bada sebenarnya juga menggambarkan topeng yang wajahnya mirip dengan topeng-topeng perunggu di Goa Made, wajah asing yang bukan Malayan-Mongoloid.
4.Situs Pasemah, Lembah Bada, dan Goa Made terletak di pedalaman, di dataran yang relatif tinggi dari daerah sekitarnya, seakan-akan sengaja dibuat di ketinggian. Mungkinkah hal itu untuk menghindari terjadinya kembali gelombang besar dari lautan (tsunami) yang menerjang daerah-daerah rendah?
5.Apabila ketiga situs di Sumatra, Jawa, dan Sulawesi itu dihubungkan dengan garis maya, maka terdapat bentuk segi tiga. Dalam peta wilayah yang menjadi bagian dalam segitiga itu ternyata adalah Laut Jawa yang diduga Dos Santos adalah bekas dataran agung Atlantis yang telah menjelma menjadi laut pada sekitar 11.600 tahun dari sekarang.

Peta Indonesia
Peta Indonesia yang memperlihatkan keletakkan situs Pasemah, Goa Made, dan Lembah Bada, dalam lingkup segitiga itulah terdapat Laut Jawa dan sekitarnya yang merupakan bekas Dataran Agung Atlantis, sebagaimana pendapat Arysio Nunes dos Santos.
Satu hal yang patut dicatat adalah dalam masa Jawa Kuno menjelang masuknya agama Islam telah digubah kitab yang berjudul Tantu Panggelaran (Abad ke-15 M). Apabila Dos Santos mengutip kitab Pustaka Raja Purwadalam kajian tentang penentuan Atlantis, maka kitab Tantu Panggelaran diuraikan banyak hal yang tiada terduga sebelumnya dan menarik untuk dipahami lebih lanjut. Misalnya uraian tentang penciptaan manusia pertama yang hidup di Tanah Jawa, Pulau Jawa yang selalu bergoncang-goncang karena diterpa gelombang lautan, pemindahan Gunung Mahameru dari Jambhudwipa ke Tanah Jawa, dan penghentian matahari oleh seorang mpu yang mengakibatkan kegoncangan jagat. Tantu Panggelaran hingga saat ini diketahui sebagai kitab yang dipandang sebagai sumber kehidupan keagamaan dalam era Majapahit akhir, agaknya perlu dilakukan kajian mendalam dengan “membongkar” bermacam metafora yang sengaja dibuat oleh para penyusunnya dahulu tentang Pulau Jawa “yang selalu bergerak”.
Demikianlah kajian ringkas tentang peninggalan-peninggalan arkeologis tertua yang ada di wilayah kepulauan Nusantara. Kajian ini sepenuhnya didasarkan kepada data arkeologi yang telah umum diketahui oleh para arkeolog dan peminat kajian kebudayaan kuno Indonesia pada umumnya. Jika ada perbedaan antara kajian ini dengan pendapat para arkeolog umumnya, hanyalah terletak pada interpretasinya. Kajian ini berupaya untuk menghubungkan ketiga situs prasejarah penting di Nusantara itu secara integral. Ternyata kesimpulan yang dihasilkan setelah melakukan perbandingan serta penelusuruan asosiasi fenomena arkeologi ketiga situs itu, didapatkan kenyataan yang menarik, ada bukti-bukti bahwa masa prasejarah Indonesia justru menghasilkan kebudayaan perunggu, kemudian kebudayaan perunggu itu mempengaruhi perkembangan kebudayaan perunggu di Asia Tenggara. Mungkinkah ada pengaruh kebudayaan lain yang lebih tua dari pada apa yang diperlihatkan oleh ketiga situs tersebut itu?, jawabannya masih memerlukan penelitian lebih lanjut secara mendalam dan meluas.
“Kita bukan dari mana-mana, tetapi kita pergi ke mana-mana…!”


DAFTAR PUSTAKA

Der Hoop, A.N.J.Th.a.Th.van, 1932. Megalithic Remains in South Sumatra. (Translated by William Shirlaw). W.J.Thieme & Cie, Zutphen, Netherland.
Mulia, Rumbi, 1980. “Beberapa Catatan Mengenai Arca-arca yang Disebut Arca Tipe Polinesia”, dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi, Cibulan, 21-25 Februari 1977. Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional. Hlm.599—646.
Munandar, Agus Aris, 2010. “Bronze Masks Discovered in Made Cave and Its Surrounding”, Research Report for Hettabrezt Spa via Emilia Ponente 130-40133, Bologna, Italy. (Unpublish).
————-, & Yose Rizal, 2009. “Simbolisme Kepurbakalaan Megalitik di Wilayah Pagar Alam, Sumatera Selatan”, makalah dalam Seminar Nasional Peradaban Besemah Sebagai Pendahulu Kerajaan Sriwijaya. Kerja sama antara Pemerintah Kota Pagar Alam, Yayasan Jurai Besemah, dan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Pagar Alam, 27 Februari—1 Maret 2009.
Prasetyo, Bagyo & Dwi Yani Yuniawati (Penyunting), 2004. Religi pada Masyarakat Prasejarah Indonesia.Jakarta: Proyek Penelitian dan Pengembangan Arkeologi.
Santos, Arysio Nunes dos, 2010. Atlantis The Lost Continent Finally Found: The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization. Indonesia Ternyata Tempat Lahir Peradaban Dunia. Jakarta: Ufuk Press.
Soejono, R.P., 1981. Tinjauan Tentang Pengkerangkaan Prasejarah Indonesia. dalam
Aspek-aspek Arkeologi Indonesia (Aspects of Indonesian Archaeology) No.5. Jakarta: Proyek Penelitian Kepurbakalaan. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
————–, (penyunting jilid), 1984. Sejarah Nasional Indonesia I: Jaman Prasejarah di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Steiner, Andreas M. & Massimo Vidale, 2010. “Goa Made: The mystery of the green masks”, Archeo Attualita Del Passato. Anno XXVI, n 2 (300), Febbraio 2010 Mensile Culturale. Milano: via Castel Morrone, 18-20129.
»»  READMORE...