Kamis, 24 Januari 2013

KEHANCURAN PERADABAN MOHENJO DARO – HARAPPA, INDIA KARENA BANJIR ?


Mohenjo Daro adalah sebuah kota purba yang terkubur lama di lembah Indus, Pakistan sekarang. Kota ini diperkirakan telah muncul sekitar tahun 6000 SM. Sebab-sebab kehancuran pusat peradaban tua yang canggih ini telah diselidiki oleh para ilmuwan. Selain peperangan dan kerusakan lingkungan, bencana banjir disebut-sebut sebagai sebab utama hancurnya peradaban Mohenjo Daro. — with Tandi Skober.


Selain relief gambar kambing, yang dijumpai di dinding bangunan kota Mohenjo Daro adalah relief gambar badak. Tampaknya badak Mohenjo Daro sekeluarga dengan badak Ujung Kulon, Jawa Barat.

Mohenjo-daro

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Situs Warisan Dunia UNESCO
Reruntuhan arkeologis Moenjodaro
Nama sebagaimana tercantum dalam Daftar Warisan Dunia
Mohenjo-daro
Negara Pakistan
Tipe Kultural
Kriteria ii, iii
Rujukan 138
Kawasan UNESCO Asia-Pasifik
Sejarah pengukuhan
Tahun pengukuhan 1980 (sesi Ke-4)
Mohenjo-daro bahasa Urdu: موئن جودڑو, bahasa Sindhi : موئن جو دڙو, Bahasa Hindi : मोहन जोदड़ो adalah salah satu situs dari sisa-sisa permukiman terbesar dari Kebudayaan Lembah Sungai Indus, yang terletak di propinsi Sind, Pakistan. Dibangun pada sekitar tahun 2600 SM, kota ini adalah salah satu permukiman kota pertama di dunia, bersamaan dengan peradaban Mesir Kuno, Mesopotamia dan Yunani Kuno. Reruntuhan bersejarah ini dimasukkan oleh UNESCO ke dalam Situs Warisan Dunia. Arti dari Mohenjo-daro adalah “bukit orang mati”. Seringkali kota tua ini disebut dengan “Metropolis Kuno di Lembah Indus”.[1]

Penemuan kembali dan penggalian

Mohenjo-daro dibangun sekitar tahun 2600 SM, tetapi dikosongkan sekitar tahun 1500 SM. Pada tahun 1922, kota ini ditemukan kembali oleh Rakhaldas Bandyopadhyay[2] dari Archaeological Survey of India. Ia dibawa ke sebuah gundukan oleh seorang biksu Budha yang mempercayai bahwa gundukan tersebut adalah sebuah stupa. Pada 1930-an, penggalian besar-besaran dilakukan di bawah pimpinan John Marshall, K. N. Dikshit, Ernest Mackay, dan lain-lain.[3] Mobil John Marshall yang digunakan oleh para direktur situs masih berada di museum Mohenjo-daro sebagai tanda untuk memperingati perjuangan dan dedikasi mereka terhadap Mohenjo-daro. Penggalian selanjutnya dilakukan oleh Ahmad Hasan Dani dan Mortimer Wheeler pada tahun 1945.
Penggalian besar terakhir di Mohenjo-daro dipimpin oleh Dr. G. F. Dales pada tahun 1964-65. Setelah itu, kerja penggalian di situ dilarang karena kerusakan yang dialami oleh struktur-struktur yang rentan akibat kondisi cuaca. Sejak tahun 1965, hanya proyek penggalian penyelamatan, pengawasan permukaan, dan konservasi yang diperbolehkan di situ. Meskipun proyek arkeologi besar dilarang, namun pada 1980-an, tim-tim peninjau dari Jerman dan Italia yang dipimpin oleh Dr. Michael Jansen dan Dr. Maurizio Tosi, menggabungkan teknik-teknik seperti dokumentasi arsitektur, tinjauan permukaan, dan penyelidikan permukaan, untuk menentukan bayangan selanjutnya mengenai peradaban kuno tersebut.[4]

Lokasi

Mohenjo-daro terletak di Sindh, Pakistan di sebuah bubungan zaman Pleistosen di tengah-tengah dataran banjir Sungai Sindhu. Bubungan tersebut kini terkubur oleh pembanjiran dataran tersebut, tetapi sangat penting pada zaman Peradaban Lembah Indus. Bubungan tersebut memungkinkan kota Mohenjo-daro berdiri di atas dataran sekelilingnya. Situs tersebut terletak di tengah-tengah jurang di antara lembah Sungai Sindhu di barat dan Ghaggar-Hakra di timur. Sungai Sindhu masih mengalir ke timur situs itu, tetapi dasar sungai Ghaggar-Hakra kini sudah kering.[5]
Pembangunan antropogenik selama bertahun-tahun dipercepat oleh kebutuhan memperluas tempat. Bubungan tersebut diluaskan melalui platform bata lumpur raksasa. Akhirnya, penempatan tersebut meluas begitu besar sehingga ada bangunan yang mencapai 12 meter di atas permukaan dataran masa kini.[6]

Kepentingan

Pada zaman dahulu, Mohenjo-daro merupakan salah satu pusat administratif Peradaban Lembah Indus kuno.[7] Pada puncak kejayaannya, Mohenjo-daro adalah kota yang paling terbangun dan maju di Asia Selatan, dan mungkin juga di dunia. Perencanaan dan tekniknya menunjukkan kepentingan kota ini terhadap masyarakat lembah Indus.[8]
Peradaban Lembah Indus (c. 3300-1700 SM, f. 2600-1900 SM) adalah sebuah peradaban sungai kuno yang berkembah di lembah sungai Indus di India Kuno (kini di Pakistan dan India Barat Laut). Peradaban ini juga dikenal sebagai “Peradaban Harappa.”
Kebudayaan Indus berkembang berabad-abad lamanya, lalu mengalami kebangkitan sekitar tahun 3000 SM. Peradaban tersebut menjangkau wilayah yang kini diduduki negara Pakistan dan India Utara, tetapi tiba-tiba mengalami kemerosotan sekitar tahun 1900 SM. Pemukiman Peradaban Indus tersebar sejauh pantai Laut Arab di Gujarat di selatan, perbatasan Iran di barat, dengan kota perbatasan di Bactria. Di antara permukiman-permukiman itu, pusat kota utama berada di Harappa dan Mohenjo-daro, dan juga Lothal.
Puing-puing Mohenjo-daro adalah salah satu pusat utama dalam masyarakat kuno ini. Beberapa arkeolog berpendapat bahwa Peradaban Indus mencapai jumlah lima juta penduduk pada puncaknya.
Saat ini, lebih dari seribu kota dan permukiman telah ditemukan, terutama di lembah Sungai Sindhu di Pakistan dan India barat laut.

Arsitektur dan prasarana kota

Mohenjo-daro, 25 km di barat dayaLarkana, adalah pusat Peradaban Lembah Indus 2600 SM-1900 SM
Mohenjo-daro memiliki bangunan yang luar biasa, karena memiliki tata letak terencana yang berbasis grid jalanan yang tersusun menurut pola yang sempurna. Pada puncak kejayaannya, kota ini diduduki sekitar 35.000 orang. Bangunan-bangunan di kota ini begitu maju, dengan struktur-struktur yang terdiri dari batu-bata buatan lumpur dan kayu bakar terjemur matahari yang merata ukurannya.
Bangunan-bangunan publik di kota ini adalah lambang masyarakat yang sangat terencana. Bangunan yang bergelar Lumbung Besar di Mohenjo-daro menurut interpretasi Sir Mortimer Wheeler pada tahun 1950 dirancang dengan ruang-ruang untuk menyambut gerobak yang mengirim hasil tanaman dari desa, dan juga ada saluran-saluran pendistribusian udara untuk mengeringkannya. Akan tetapi, Jonathan Mark Kenoyer memperhatikan bahwa tidak ada catatan mengenai keberadaan hasil panen dalam lumbung ini. Maka dari itu, Kenoyer mengatakan lebih tepat untuk menjulukinya sebagai “Balai Besar”.
Di dekat lumbung tersebut ada sebuah bangunan publik yang pernah berfungsi sebagai permandian umum besar, dengan tangga yang turun ke arah kolam berlapis bata di dalam lapangan berderetan tiang. Wilayah permandian berhias ini dibangun dengan baik, dengan lapisan tar alami yang menghambat kebocoran, di samping kolam di tengah-tengah. Kolam yang berukuran 12m x 7m, dengan kedalaman 2.4m ini mungkin digunakan untuk upacara keagamaan atau kerohanian.
Di dalam kota, air dari sumur disalurkan ke rumah-rumah. Beberapa rumah ini dilengkapi kamar yang terlihat ditetapkan untuk mandi. Air buangan disalurkan ke selokan tertutup yang membarisi jalan-jalan utama. Pintu masuk rumah hanya menghadap lapangan dalam dan lorong-lorong kecil. Ada berbagai bangunan yang hanya setinggi satu dua tingkat.
Sebagai kota pertanian, Mohenjo-daro juga bercirikan sumur besar dan pasar pusat. Kota ini juga memiliki sebuah bangunan yang memiliki hypocaust, yang kemungkinan digunakan untuk pemanasan air mandi.
Mohenjo-daro adalah sebuah kota yang cukup terlindungi. Walau tak ada tembok, namun terdapat menara di sebelah barat pemukiman utama, dan benteng pertahanan di selatan. Perbentengan tersebut, dan struktur kota-kota lain di Lembah Indus seperti Harappa, menimbulkan pertanyaan apakah Mohenjo-daro memang pusat administrasi. Harappa dan Mohenjo-daro memiliki arsitektur yang mirip, dan tidak berbenteng kuat seperti situs-situs lain di Lembah Indus. Jelas sekali dari tata ruang di semua situs-situs Indus, bahwa ada suatu pusat politik atau administrasi, hanya saja tidak jelas lagi sejauh mana jangkauan dan fungsi pusat administrasi tersebut.
Mohenjo-daro telah dimusnahkan dan dibangun kembali setidaknya tujuh kali. Setiap kali, kota baru dibangun terus di atas kota lama. Banjir dari Sungai Indus diduga menjadi penyebab utama kerusakan.
Kota ini terbagi atas dua bagian, yaitu benteng kota dan kota hilir. Kebanyakan wilayah kota hilir masih belum ditemukan. Di benteng kota terdapat sebuah permandian umum, struktur perumahan besar yang dirancang untuk menempatkan 5.000 warga, dan dua buah dewan perhimpunan besar.
Mohenjo-daro, Harappa dan peradaban masing-masing, lenyap tanpa jejak dari sejarah sampai ditemukan kembali pada 1920-an. Penggalian besar-besaran dilakukan di situ pada 1920-an, namun tidak ada penggalian secara mendalam yang dilakukan lagi sejak tahun 1960-an.
Artefak “gadis menari” yang ditemukan di Mohenjo-daro
Patung “raja pendeta”

Artefak

Patung “gadis menari” yang ditemukan di Mohenjo-daro adalah sebuah artefak yang berusia sekitar 4500 tahun. Patung perunggu dengan panjang 10.8 cm ini ditemukan di sebuah rumah di Mohenjo-daro pada tahun 1926. Patung kecil ini adalah patung favorit arkeolog Inggris Mortimer Wheeler, seperti yang dipetik dari sebuah acara televisi tahun 1973:
“Muka kecilnya gaya Balochi dengan bibir yang cemberut dan paras yang terlihat tidak sopan. Saya rasa umurnya tak lebih lima belas tahun, tetapi tidak memakai apa-apa selain gelang di lengan. Seorang gadis yang benar-benar percaya diri terhadap dirinya dan dunianya. Saya rasa patung ini tidak ada duanya di dunia ini. “
John Marshall, salah seorang penggali di Mohenjo-daro, menggambarkan gadis tersebut sebagai kesan jelas seorang gadis muda, berpostur kurang sopan dengan sebelah tangan mencekak pinggul, sambil mengikuti rentak musik dengan tangan dan kaki.[9]
Sebuah patung lelaki duduk dengan tinggi 17.5 cm yang bergelar “Raja Pendeta” (walaupun tiada bukti pendeta atau raja memerintah kota ini), adalah satu lagi artefak yang menjadi lambang peradaban lembah Indus. Patung ini ditemukan oleh para arkeolog di Kota Hilir Mohenjo-daro pada tahun 1927. Patung tersebut ditemukan di sebuah rumah yang arsitektur batanya berhias dan berceruk dinding, terlantar di antara dinding dasar bata yang pernah menampung tingkat rumah. Patung berjanggut ini memakai pita rambut, lilitan lengan, dan mantel berhias pola trefoil yang aslinya berisi pigmen merah. (Profil patung ini mirip dengan patung serupa yang ada di candi Cetho di Jawa tengah. AYS)

Status UNESCO

Pemeliharaan Mohenjo-daro ditunda pada Desember 1996 setelah berhentinya pendanaan dari pemerintah dan organisasi internasional. Pada April 1997, Organisasi Pendidikan, Sains dan Kebudayaan PBB (UNESCO) membiayai proyek $10 juta untuk perlindungan situs dan struktur-struktur yang masih bertahan dari banjir selama 20 tahun.
 
Harappa & Mohenjo-daro
Berdasarkan penelitian oleh Sonia SaleemHarappa atau "Hari-Yupuya" sebagaimana disebutkan dalam "Rig Veda" menandai ketinggian pembangunan perkotaan dari peradaban lembah Indus pada 2600 SM sampai 1.900 SM selama 700 tahun. Harappa terletak di provinsi Punjab hari ini, dekat kota Sahiwal, dan dalam kemuliaan penuh adalah proto tipe sempurna dari sebuah kota yang sepenuhnya dikembangkan dari peradaban lembah Indus. Itu adalah refleksi sempurna dari jenis pemikiran yang terorganisir Rig Veda ditekankan. [Wheeler, Kenoyer].

 
 
Harappa memiliki awal yang sederhana sama seperti kota besar lainnya. Ini dimulai sebagai sebuah pemukiman desa, secara bertahap berkembang selama berabad-abad untuk mengakomodasi industri kerajinan terkenal, pasar dunia dapat diakses, dan daerah pemukiman bersih dan pemakaman. Harappa adalah 128.800 pedalaman, dan 150 hektar di daerah. Harappa kota begitu dikembangkan dan pusat Kekaisaran Indus bahwa nama Harappa menjadi identik dengan budaya yang dominan pada saat itu, diikuti oleh semua kota-kota lain di wilayah Indus, sampai ke Kutch di pantai di India hari ini. [Rehman, Kenoyer]. Oleh karena itu, reruntuhan Harappa tiga mil di lingkar. Reruntuhan kota ini dibagi ke dalam gundukan, berlabel dari gundukan A, ke G oleh arkeolog, membuat poin mudah diidentifikasi. Gundukan yang umum untuk semua kota Indus, dan tinggi gundukan itu, daerah yang lebih sentral dan penting berada di kota. Misalnya gundukan benteng hampir selalu gundukan tertinggi. Ini pola dasar Indus Kota dibangun pada sumbu timur-barat, utara-selatan, dan dikelilingi oleh empat tembok kota dengan gerbang pintu masuk besar di dinding barat. Gerbang adalah 2,8 meter, dan 3 sampai 4 meter, [Kenoyer], tetap dengan kamar atau melihat keluar tulisan di atas. [Kenoyer]. Di dalam gateway ada ruang besar untuk pasar sehingga memudahkan barang yang akan diangkut dalam dan diperiksa, pajak dan dijual. The Ox dan keranjang adalah metode yang digunakan untuk mengangkut barang-barang, dan pintu masuk itu hanya cukup besar untuk memungkinkan satu keranjang masuk dan keluar pada suatu waktu. Setelah masuk pintu gerbang kota, dan melewati ruang pasar, jaringan jalan menuju ke pusat kota. Jalan utara menyebabkan semua lokakarya shell dan batu akik, memimpin jalan barat ke tembaga-kerajinan lokakarya. Bukti dari caravanserai ditemukan di luar, dan selatan dari gerbang utama kota. Isinya rumah, saluran air, mandi, wel, l dan kandang untuk kuda. [Kenoyer 55].

 
 
Itu benar-benar berhenti dan akomodatif untuk bepergian pedagang dan pedagang, seperti Harappa merupakan bagian integral dari rute perdagangan kuno. Pedagang justru membantu infrastruktur-berkembang di wilayah tersebut. Kenoyer menyebutkan bahwa jalan modern yang digunakan di luar kini gerbang kota, dekat lokasi lama yang caravanserai berada dalam semua kemungkinan ditata 4500 tahun yang lalu oleh pedagang Harappa. Ini caravanserai digunakan untuk transfer pos sepanjang rute juga, melayani Lahore dan Multan. Ini caravanserai disimpan dalam penggunaan selama ribuan tahun kemudian oleh pedagang bepergian, sekali lagi memverifikasi fakta bahwa kota Harappa terletak di posisi strategis untuk jalur perdagangan.Sebuah gerbang kedua terletak 200 meter sebelah timur dari yang pertama. Gerbang ini memimpin ke pinggiran kota yang juga menghasilkan ornamen, kerajinan dan artefak lainnya untuk perdagangan. Gerbang ini juga memiliki caravanserai sekitar 50 meter selatan luar, untuk mengakomodasi para pedagang yang datang ke ini bagian dari kota. [Kenoyer 55].Tidak ada bukti dari istana atau residensi besar untuk seorang raja atau penguasa di pusat kota. Namun ada sebuah bangunan besar di antara rumah-rumah yang terlihat banyak di pinggiran utara kota. Tetapi berpikir bahwa itu adalah gudang, karena ada banyak pekerjaan melingkar-platform di mana kerajinan kerja, dan keramik dibuat. [Kenoyer 55]. Menurut peta Harrapa, yang dibuat oleh Sir Mortimer Wheeler, selain itu carvanserai, lumbung, kuburan, dan tempat para pekerja itu berada di luar tembok kota. Dari peta itu juga tampaknya seperti dinding barat terdapat sebagian besar gerbang diakses ke kota, serta pintu masuk utama. Perluasan Harappa adalah bertahap, dan pendatang dari kota-kota lain, dan bangsa-bangsa yang tidak biasa. Namun satu budaya dominan di Harappa, dan pada kenyataannya Harappa budaya mendominasi sisa kota-kota juga. Hal ini memastikan perdamaian dan harmoni di seluruh wilayah Indus. Bahkan sebelum Harappa menjadi episentrum budaya, kedamaian dan harmoni mendominasi wilayah Indus. Non-kekerasan, bahkan dalam bentuk pertahanan diri, merupakan bagian dari agama Indus, sehingga semua invasi atau migrasi tidak menolak, juga tidak ada bentrokan antara suku. Gerbang kota tidak dibangun untuk melawan segala jenis serangan militer, tidak pula dinding yang dibuat untuk membela diri. Dinding sekitar gundukan dengan di kota hanya dibatasi daerah yang berbeda. [Kenoyer 56]. Sebuah ancaman perang itu bahkan tidak ide atau pemikiran di lembah Indus. Sebuah budaya yang seragam disebarkan kedamaian. Kota ini melayani khusus untuk kelancaran perdagangan, dan bisnis, yang lain integral dari agama Indus.

Mohenjo-daroMohenjo-daro, atau "Mound of the Dead" diduga sama dibangun untuk Harappa karena semua kota Indus memiliki sebuah Veda desain umum mencerminkan, terorganisir berpikir. Hal ini juga dapat membanggakan untuk menjadi kota pertama di dunia yang memiliki sistem penuh pengeringan. Sebuah sistem pengeringan yang luas untuk seluruh kota ditemukan di tanah Indus.

 
 
Kota Mohenjo-daro adalah 169.260 km persegi pedalaman, dan 250 hektar. [Kenoyer]. Hal ini juga menunjukkan bahwa Mohenjo-daro lebih tua dari Harappa. Namun, sisa-sisa Mohenjo-daro tidak semua lengkap karena mereka berada di tempat digali dari Harappa. Tidak ada sisa-sisa fisik dinding dan gateway, tetapi ukuran dasar dari tembok yang mengelilingi kota menunjukkan bahwa dinding itu mungkin megah daripada Harappa. Mohenjo-daro sering dikunjungi oleh banjir, yang merupakan alasan utama mengapa tidak berkembang dengan cara yang sama bahwa Harappa lakukan, dan mungkin penyebab kehancuran utamanya. Benteng timur pada waktu itu terletak sangat dekat dengan Sungai Indus. Banjir di wilayah ini masih menjadi perhatian dan masalah, meskipun cabang terdekat dari sungai telah bergeser 3 mil jauhnya di sebelah timur. [Wheeler].Sebuah stupa Buddha dan biara ditemukan di atas benteng Barat, dan dibangun di sana beberapa abad setelah runtuhnya peradaban Indus, di 200 SM Antara kematian lengkap dari peradaban Indus, dan penyebaran agama Buddha, ada kota lain sebesar Mohenjo-daro ada di wilayah ini. Mohenjo-daro dengan demikian dibangun sebagai grid, diselenggarakan pada sumbu utara-selatan, timur-barat. Ini dibangun sebagai lereng, jelas untuk melawan banjir. Benteng Barat adalah gundukan tertinggi, yang secara bertahap berlari timur, membuat benteng timur gundukan terendah. Serupa dengan Harappa, gundukan tertinggi menandai bagian, lebih penting pusat kota, di mana pejabat dan penguasa hidup, dan mungkin merupakan hub untuk perdagangan di ini bagian dari Kekaisaran Indus.Harappa dan Mohenjo-daro adalah ibukota mengutip dari peradaban Indus, namun Sungai Indus bukanlah cara air-satunya yang termasuk dalam peradaban ini. The Ghaggar-Hakra Sungai adalah sungai lainnya makan peradaban Indus lembah, tapi mengering selama berabad-abad untuk menjadi gurun Cholistan. Itu berlari melalui bidang Punjab dan Sindh hari ini, paralel dan timur Indus. Ibukota, dan kota-kota Ganweriwala, Rakhigarhi, yang terletak di titik-titik yang berbeda dari tepi Indus, fundamental untuk menjadi bagian dari rute perdagangan. Dua yang terakhir hanya mencakup 80 hektar di daerah masing-masing, tetapi sama pentingnya untuk perdagangan. Dholavira menutupi 100 hektar di daerah, dan yang paling terjauh dari pusat, tetapi terletak di Rann of Kutch, yang sekarang hari Gujarat India sekarang. Oleh karena itu menjabat sebagai dasar yang baik untuk impor dan ekspor barang-barang di luar Laut Arab, dan ikan, dan kerang laut ditemukan disediakan dan disalurkan sekitar peradaban Indus. Kota-kota yang lebih kecil dibangun banyak dalam grid, terorganisir sama seperti cara sebagai ibukota. Indus arsitektur dapat didefinisikan sebagai logis, rapi, fungsional, sederhana, dan berusaha untuk ketertiban dan organisasi. [Kenoyer, Wheeler]. Agama dan perdagangan rute yang jelas inti dan inti dari keberadaan kota-kota ini."Hidup adalah satu proses panjang mulai lelah." [Samuel Butler.] Pergeseran wilayah kebudayaan Indus ke wilayah Gangga;.Semua hal, besar atau kecil harus berakhir. Sebuah peradaban besar, berkembang, dan damai seperti peradaban Indus mengejutkan tidak berakhir. Diperkirakan bahwa perubahan lingkungan, dan pergeseran lempeng tektonik di bawah bumi membantu dalam kehancurannya. Sebab-sebab alamiah menunjukkan evolusi, perubahan bertahap lambat dan stabil dari pusat perdagangan perdagangan pergeseran timur ke sistem air utama di benua sub-. Seluruh peradaban bergeser timur, dan selatan.Menurut Sir Mortimer Wheeler, penyebab pastinya ambigu. Dia mengatakan "Over-ambisius perang, invasi barbar, intrik dinasti atau kapitalistik, iklim, nyamuk malaria telah mendesak beberapa kali dalam satu konteks atau lain sebagai penyebab over-semua." [126, Wheeler.] Jadi tidak ada satu alasan untuk runtuhnya peradaban Indus. Mungkin itu aman untuk mengatakan bahwa sebagai sebuah peradaban yang menggambarkan populasi, itu tidak benar-benar kematian, tapi pindah. Sebagai ras, peradaban Indus masih hidup, dan telah berkembang, dan orang-orang yang dikenal sebagai hari Pakistan. Sebuah sejarah peradaban Indus sebagai ras adalah sejarah pergeseran dan perubahan, namun perubahan bertahap dan evolusi, bukan pergolakan dramatis atau revolusi. Orang-orang Indus tidak mati. Mereka hanya cukup bergerak di sekitar benua sub-besar karena kondisi lingkungan yang tidak dapat dihindari. Dan sejak saat invasi Arya, bermain antar-dengan pedagang dari seluruh Teluk dan Mesopotamia, dan sisanya dari benua sub-, lembah Indus ras selalu mengalami perubahan. Ini adalah daerah yang terutama menyambut pengaruh asing, untuk hubungan dagang yang kuat. Pembauran ras dan pengaruh asing adalah fitur alami dari lembah Indus peradaban SM Vedisme dikembangkan dengan Arya seru, yang akhirnya berkembang menjadi Brahamism, Jainisme, dan Buddhisme. Perdagangan membuat wilayah Indus yang terkenal, dan menarik bagi orang asing. Sebuah sejarah wilayah Indus adalah sejarah invasi.Sebagai Kekaisaran, sebagai kekuatan geo-ekonomi yang fantastis, tua, dan mengakar, peradaban Indus lembah itu berakhir. Mohenjo-daro adalah di semua kemungkinan bernama "Mound orang mati", karena itu adalah sebuah kota yang terus-menerus banjir, menyebabkan kerusakan reoccurring dan rekonstruksi. Ada titik di mana penduduk pikir itu bijaksana untuk bergerak pada akhirnya, bukan merekonstruksi. Banjir yang sesering tahunan, Sungai Indus akan membengkak setiap tahun karena hujan dan salju mencair. Ini secara bertahap menjadi semakin tidak diinginkan, dan benar-benar tidak aman dihuni. Bukti banjir ekstrem masih jelas sebagai lumpur-liat deposito berbaring di seluruh kota, di atas puing-puing pada saat penggalian nya. Di bawah lumpur massa tanah liat yang dikubur lapis demi lapis platform bata yang di atasnya penduduk kota terus membangun kembali rumah-rumah dan toko mereka setelah banjir baru-baru ini. [Wheeler]. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Dr Dales pada tahun 1960, perdagangan laut benar-benar berhenti di sepanjang Pantai Makran dengan Teluk Persia sekitar 1900 SM karena sering banjir kehancuran membuat Mohenjo-daro tidak layak untuk perdagangan internasional, dan pasar. Ini berarti bahwa kematian Mohenjo-daro tak terelakkan. [Wheeler]. Bahkan penduduk kota yang mampu bergerak dan membangun kembali kehidupan mereka di kota-kota lain telah menemukan lebih layak untuk meninggalkan, akibatnya mengubah kota yang makmur dari Mohenjo-daro in ke kumuh putus asa. Fokus perdagangan sehingga bergeser ke Harappa dan Rann of Kutch dan perkotaan kota Dholavira menjadi jalur laut untuk perdagangan Persia. Harappa Keberhasilan itu dengan demikian juga tak terelakkan.Harappa tidak kematian sebagai sebuah kota, seperti bencana alam tidak memukul jalan. Namun, pentingnya Harappa sebagai ciri khas budaya Indus melakukan pergeseran.Hal ini disebutkan di atas berulang kali bahwa budaya Harappa mendefinisikan budaya Indus secara keseluruhan, dengan 2.600 SM dan seterusnya. Periode ini ditandai dengan puncak kesuksesan wilayah Indus sebagai peradaban yang maju, dan progresif. Namun 1.900 SM dan seterusnya melihat pergeseran bertahap dari pusat teritorial budaya dari wilayah Indus ke tengah, wilayah Sungai Gangga. Hal ini juga dikenal sebagai fase akhir Harappa. Kebudayaan Indus, juga dikenal sebagai budaya Harappa bergeser panjang dengan rakyatnya, memberikan ruang untuk itu untuk berkembang menjadi sebuah peradaban baru, dengan mengumpulkan keyakinan baru. Harappa kesatuan rusak ke terfragmentasi, masyarakat kecil, menyebar-keluar sejauh Afghanistan, dan Asia Tengah di utara-barat, dan Gangga-Yamuna Rivers di selatan-timur. Peluang biaya? Atau hanya kesempatan yang polos? Buddhisme berkembang sekitar 600 SM dan menyebar meskipun-out benua sub-, sementara terus mendukung pentingnya perdagangan. Kebanyakan pedagang dan pedagang adalah Buddha, sebagai sistem pengetahuan yang percaya pada kesetaraan, yang bertentangan dengan tradisi Arya hirarki sosial. Rute perdagangan sehingga menyebar, sehingga invasi lebih, pergolakan politik lebih besar, lebih banyak perdagangan, migrasi lebih, dan penyebaran agama Buddha. Caravanserais Kebanyakan juga vihara, di mana Buddha biarawan siap melayani pedagang bepergian lelah oleh 300-200 SM Alexander Agung tiba di 326 B.C.E. hanya untuk memulai era baru kebudayaan yang merupakan campuran budaya Yunani dan Buddha yang dikenal sebagai budaya Ghandara. Kebudayaan Indus telah berevolusi ke sekolah lebih matang pemikiran, serta berpegang pada pentingnya perdagangan, dan lebih menyebar luas. Ini memungkinkan untuk pengembangan daerah, seperti Gujurat, dan sistem air lainnya, seperti The Yamuna-Ganga sistem dengan yang termasuk dalam rute perdagangan yang pernah berkembang. [Kenoyer].Kota-kota kecil dan desa-desa lainnya di seluruh wilayah Indus Almarhum hanya karena pergeseran ke arah sungai besar, menyebabkan tempat tidur sungai paling untuk mengering sepenuhnya. Ini pembangunan pertanian kiri di pit. Orang-orang harus bergerak ke timur. Selain perdagangan, dan pertanian, Indus seni dan kerajinan praktik juga tetap hidup. Teknologi tembikar berkembang, dan melihat lebih banyak hewan yang termasuk dalam pot ini untuk dekorasi. Ini menjadi mudah untuk mengatakan seberapa jauh budaya Indus menyebar dan berkembang. [Kenoyer].Ini tradisi baru kemudian dikenal sebagai tradisi Indo-Gangga, link yang sangat berharga yang telah menentukan jalannya sejarah melalui-out benua sub-, dan masih mendefinisikan budaya kedua daerah saat ini. Link ini menandai tingkat baru pembangunan bagi masyarakat menetap oleh SM 300 Namun, itu adalah jenis baru pembangunan yang melihat munculnya negara-kota kecil dijalankan oleh monarki, tentara, logam senjata yang digunakan untuk pertempuran, kuda kereta bukan sapi-menarik yang, dan tentu saja, politik menjadi permainan kekuasaan.Hubungan Indo-Gangga unarguably mendefinisikan suasana main-stream budaya Pakistan hari ini. Ini secara intrinsik link teritorial; orang-orang dari Sungai Indus didirikan dengan Sungai Ganga, keluar dari naluri manusia semata-mata untuk bertahan hidup. Peradaban Indus lembah kematian tidak secara keseluruhan. Ini kehilangan bagian dari dirinya sendiri dalam bentuk kota Mohenjo-daro, serta kota-kota kecil di selatan, dan perdagangan di sepanjang pantai Teluk Makran. Tapi dengan menggeser timur, memperoleh sistem lain air yang membantu mengembangkan budaya Indus lembah, pemikiran, agama, dan perdagangan. Sejarah kebudayaan Indus adalah sejarah pergeseran teritorial. Ini naturalizes gagasan dari beraneka ragam suku, tidak hanya yang ada bersama-sama, tapi antar-peternakan untuk membuat etnis baru. Semua ini telah terjadi selama 5000 tahun, dan dalam satu lahan. Untuk mengabaikan hal ini, adalah untuk mengabaikan sejarah dasar budaya kami. Budaya kita adalah budaya asli berdasarkan lanskap kami berubah. Orang-orang dari Indus mempengaruhi wilayah Sungai Gangga terutama, dan bukan sebaliknya. Budaya yang dipraktekkan saat ini adalah budaya yang telah dipraktekkan selama berabad-abad di lembah Indus. Adalah aman untuk mengatakan bahwa sejarah benua sub-dimulai di wilayah Indus.
»»  READMORE...